DUA PULUH TUJUH

7.4K 1K 126
                                    

"Kenapa?" Bayu tidak tahan untuk bertanya setelah melihat Ratna berulang kali meraba bibir bawah.

"Bibirku rasanya aneh. Bengkak ya?" Ratna mengubah posisi duduk menjadi menyerong agar Bayu yang duduk lesehan di atas karpet di sampingnya bisa melihat bibirnya.

Bayu terkekeh, gemas dengan tingkah polos Ratna.  Bibir gadis itu memang sedikit bengkak, sebagian besar lipstiknya pun sudah terhapus. Salah sendiri punya bibir enak banget buat dicium.  "Ya wajar aja. Tadi kan aku isep sambil gigit-gigit kecil. Sini, sini,  aku emut supaya enakan."

Wajah Ratna kontan berubah merah padam dan satu cubitan pedas mendarat di pinggang Bayu. Lelaki itu mengaduh keras sebagai bentuk protesnya.

"Kalau udah bisa mikir mesum berarti kamu udah sembuh. Aku pulang ya," ujar Ratna seraya membereskan peralatan makan. Dia sudah menghabiskan nasi goreng pesanan Bayu. Lelaki itu pun sudah menandaskan soto sapinya dari mangkuk. Melegakan melihat Bayu sudah mendapatkan kembali nafsu makannya.

"Ini udah jam sebelas lebih, Na. Demamku mungkin udah turun tapi aku masih belum fit untuk bawa motor, dan aku nggak mungkin biarin kamu pulang sendirian jam segini. Bahaya."

Punggung Bayu tegak dan wajahnya memberengut. Perempuan mandiri dan pemberani itu bagus, tapi bukan berarti menyepelekan risiko tinggi tingkat kriminalitas. Membayangkan Ratna melewati jalanan sepi di tengah malam membuat Bayu cemas. Insting protektifnya seketika bangkit.

"Ya terus gimana? Aku nggak mungkin nginap di sini."

Alis Bayu terangkat. "Kenapa nggak?"

"Itu sama bahayanya dengan pergi sendirian di tengah malam. Sama-sama ada risiko 'diapa-apain'."

Kalau berkendara sendirian di tengah malam mengandung risiko menjadi sasaran tindak kejahatan perkosaan, maka hal yang sama pun bisa terjadi jika pria dan wanita tidur bersama dalam satu kamar.

Selain itu, berbagi kamar merupakan tindakan yang terlalu intim. Ratna masih bingung dengan hubungan mereka. Mereka sudah berciuman dengan, well, penuh gelora, tapi sama sekali tidak ada ikrar apa pun tentang status mereka. Bayu masih tetap kekasih Ayu, lalu apa posisi Ratna? Simpanan?

Bayu mencubit gemas hidung Ratna. "Dasar Miss Ngeres. Nggak usah mikir aneh-aneh dulu. Kamu tidur di sini, aku tidur di kamar sebelah."

"Emangnya kamar sebelah kosong?" Ratna mengembuskan napas lega.

"Nggak, tapi penghuninya udah biasa aku recokin. Santai aja. Yoga dikasih uang rokok juga diem."

"Tapi aku nggak bawa baju ganti. Masa aku tidur pakai celana jins?" Ratna menunduk menatap pakaiannya. Celana jins dan blus dengan aksen kerut di bawah dada bukanlah baju yang nyaman untuk tidur.

"Pinjam bajuku."

"Ih, nggak mau."

"Ya udah, lepas aja bajumu. Tidur pakai pakaian dalam."

"Kamu tu emang minta dicubit ya." Ratna mencubit lagi pinggang Bayu. Sepertinya lebih sakit daripada cubitan pertama karena Bayu memekik cukup keras.

"Aduh, Na. Sakit, ya Allah. Tega banget sama orang lagi sakit." Bayu mengusap-usap pinggangnya.

"Rasain. Lagian kayaknya dulu ada yang pernah sesumbar kalau dirinya nggak pernah sakit. Siapa ya?"

Bayu mencebik. "Aku tu sakit karena patah hati lihat kamu mesra-mesraan sama Raja. Duduk di teras, minum teh saat hujan. Apa-apaan itu?"

Ratna mengernyit. "Kamu ke kontrakan?"

"Nggak sengaja. Motorku tahu-tahu belok ke situ," kelit Bayu tak masuk akal. Memangnya sepeda motor bisa berbelok sendiri? Konyol.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang