Ekspresi Bayu pasti sudah mengungkapkan segalanya. Muka Bayu yang sontak terangkat, mata yang menatap terkejut pada Ayu, serta lisannya yang mendadak kelu. Semua itu menunjukkan kebenaran dari tuduhan Ayu bahwa gadis lain itu adalah Ratna.
"Jawab yang jujur!" tuntut Ayu.
Ketika memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini, Bayu tahu dia harus melakukannya dengan jujur, berterus terang tentang alasan yang menggerakkannya sampai di titik ini. Akan tetapi, apakah bijak menyebut nama Ratna?
Bayu tidak ingin menyakiti Ayu lebih dalam lagi dengan mengatakan detail kisahnya bersama Ratna. Lagi pula, sebisa mungkin Bayu ingin melindungi gadis itu. Ratna tidak pantas diperlukan seperti seorang pelakor atau selingkuhan, yang dilabrak, ditampar, atau sejenisnya. Meski Ayu merupakan pribadi yang lemah lembut, tidak ada jaminan dia bisa mempertahankan sifat itu di saat sedang putus cinta---dengan cara yang tidak adil seperti ini.
"Mengetahui siapa dia cuma akan menyakitimu, Yu."
Mata Ayu terpejam sejenak. Air matanya jatuh semakin deras. "Memangnya aku bisa lebih sakit lagi dari sekarang, hah? Sakit, Yang. Di sini sakit banget." Ayu menunjuk dadanya.
Bayu membuang pandangan ke sembarang arah, asalkan bukan kepada gadis yang hatinya sedang dia hancurkan. Terlalu menyakitkan melihat Ayu menangis. Salah jika Bayu mengira dirinya akan baik-baik saja ketika mengakhiri hubungan. Nyatanya, sebagian hatinya juga ikut hancur sekarang.
Seandainya bisa, Bayu ingin menendang dirinya sendiri. He's the real asshole. Seharusnya dia tidak menerima perasaan Ayu tiga tahun yang lalu. Bayu tolol karena mengira dirinya akan mudah jatuh cinta pada Ayu, dengan pertimbangan semua cowok suka cewek cantik.
Namun, apakah keputusan itu yang paling Bayu sesali? Tidak, penyesalan terbesar Bayu adalah kepengecutannya. Seharusnya dia mengambil sikap tegas dan berani saat usahanya untuk melupakan Ratna berakhir sia-sia.
"Dia Ratna, kan? Buku yang kamu bilang untuk hadiah ulang tahun Gita... ternyata kamu berikan untuk Ratna. Iya kan?" lirih Ayu dan terjawablah asal muasal tuduhan gadis itu terhadap Ratna.
Bayu tak bisa lagi berkelit, tapi dia tetap bungkam. Kebisuan yang justru memantik emosi Ayu. Gadis itu berdiri sekonyong-konyong dan berderap menghampiri sang pria. Tangannya mengayunkan tas jinjing ke lengan Bayu. Satu kali.
"Aku suka segala hal tentangmu. Happy reading, Na." Ayu mengutip kalimat yang Bayu tuliskan di buku tersebut.
"Berengsek kamu!" cacinya. Satu hantaman tas mendarat lagi di lengan Bayu. Ayu tidak berhenti, terus memukuli Bayu secara bertubi-tubi.
Bayu bergeming, sama sekali tidak berusaha menghentikan Ayu. Dia menunggu Ayu selesai melampiaskan emosi, menumpahkan kekesalan biarkannya gadis itu melampiaskan emosi. Lagipula, Bayu memang pantas mendapatkan semua pukulan ini. Dirinya memang seberengsek ini dan Ayu pantas mendapatkan lelaki yang lebih baik.
Setelah beberapa saat, Ayu kemudian mencampakkan tasnya ke lantai dan menjatuhkan diri ke kursi terdekat. Dadanya naik turun seiring dengan irama napasnya yang tersengal. Pipi Ayu basah karena air mata, kedua tangannya menutup wajah, meredam tangis.
"Kupikir selama ini aku sudah jadi pacar yang baik. Aku setia sama kamu saat kita LDR. Kalau aku ada salah, bilang, Yang. Akan aku perbaiki, tapi kita nggak harus putus." Wajah Ayu tertunduk, bahunya bergetar.
"Kamu nggak salah, Yu. Aku yang salah."
Ayu menggeleng. Pasti sulit baginya menerima semua ini. Gadis itu lalu mengusap air mata dengan punggung tangan dan mengangkat wajahnya yang sembab.
"Sejak kapan? Sejak kapan kamu suka Ratna? Apa keunggulan Ratna dibandingkan aku?"
Bayu menghela napas panjang. Ada banyak alasan mengapa hatinya condong pada Ratna. Ratna yang lebih sederhana, Ratna yang pintar memasak, Ratna yang selalu peduli pada orang lain. Tapi Bayu tidak akan mengatakan semua itu. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan rasanya tidak pantas membanding-bandingkan.
"Yu, jangan kayak gini," mohon Bayu sembari memandang wajah Ayu.
"Terus aku harus gimana? Brengsek!" sentak Ayu.
Bayu menyerah. "Aku suka Ratna sejak tiga tahun yang lalu, saat KKN. Maaf karena aku nggak jujur selama ini. Sungguh, aku udah berusaha untuk balas mencintaimu. Maaf, karena usaha itu nggak berhasil."
Ayu tercengang lalu terdiam, tetapi Bayu tahu otak gadis itu tengah menyusun keping-keping ingatan selama tiga tahun ini.
"Kamu mendadak murung setelah KKN selesai." Itu keping pertama.
"Kamu hapal minuman favorit Ratna." Keping kedua.
"Kamu nggak suka Raja pendekatan sama Ratna, makanya kamu beliin Ratna buku." Keping berikutnya.
"Ratna flu ... Apa kalian bertemu saat aku ke Semarang? Dia pasti ketularan kamu, iya kan?"
Sejurus kemudian, kepala cantik itu menggeleng kuat. Rambut sebahu Ayu ikut bergoyang. "Nggak! Kamu cuma sedang terobsesi sama Ratna, Yang, dan kamu pikir itu cinta. Kamu penasaran sama dia. Banyak cowok yang kayak gitu. Aku---aku ngerti banget."
"Ayu..." Perasaan Bayu semakin terpilin melihat penyangkalan Ayu.
"Kamu cuma butuh jeda, untuk memahami perasaanmu. Kita bisa break sebentar. Kamu bakal sadar bahwa akulah yang kamu cintai. Kita akan bersama lagi. Kamu bertahan sama aku selama tiga tahun. Itu bukti bahwa sebenarnya kamu cinta aku."
Bukan, ini bukan cinta. Bayu menyadarinya sekarang. Alasannya bertahan selama ini adalah rasa bersalah. Dan rasa bersalah tidak bisa menjadi pondasi sebuah hubungan.
***
"Ada cowok di depan, dia nyari kamu." Fifi menyampaikan informasi itu dengan wajah tak suka. "Itu Bayu, kan?" cecarnya.
Ratna menyibak selimut lalu duduk di tepi ranjang. "Iya."
"Rat, dia masih pacar orang." Fifi memperingatkan.
Ratna meraih sisir dan merapikan rambut. "Aku tahu," jawabnya singkat. "Kami sedang cari jalan keluar."
Fifi menyingkir dari kamar setelah melemparkan tatapan tak setuju. Ratna lalu menemui Bayu di teras kontrakan, masih dengan masker menutupi mulut dan hidung. "Aku nggak dengar suara motormu. Parkir di mana?"
Kepala Ratna celingukan mencari keberadaan Honda Tiger milik Bayu. Malam-malam begini, bahaya jika parkir terlalu jauh. Pencurian sepeda motor mengintai.
"Aku naik Gojek. Flu-mu gimana? Udah membaik?"
"Udah mendingan setelah minum obat dari dokter. Sekarang tinggal ngantuknya aja."
Bayu mengangkat kantung kresek di tangan kirinya. "Aku bawa wedang jahe. Beli di angkringan."
"Makasih, aku pindahin ke gelas dulu."
Beberapa menit kemudian, Ratna muncul kembali dengan dua mug berisi wedang jahe yang masih mengepulkan uap panas. Bayu menerima gelasnya. Lelaki itu tersenyum, tetapi matanya tidak ikut tersenyum. Ratna tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Ada apa?" tanya Ratna, setelah duduk di kursi kayu panjang di teras.
Bayu ikut duduk di sebelah Ratna. Pria itu menyeruput wedang jahe, lalu meletakkan mug di samping kiri tubuhnya.
"Aku sudah bicara dengan Ayu."
Detak jantung Ratna seolah berhenti selama beberapa detik. Lalu bagaimana hasilnya? Mungkin pertanyaan itu seharusnya dia tanyakan, tetapi Ratna sendiri terlalu takut mendengar jawabannya.
Alih-alih bersuara, Ratna memilih untuk menyandarkan kepala di bahu Bayu, meraih tangan lelaki itu dan menggenggamnya. Momen ini yang mati-matian Ratna cegah sejak tiga tahun lalu, namun kini menjadi situasi yang tak terhindarkan. Momen di mana mereka bertiga---dia, Bayu, dan Ayu---sama-sama terluka.
"Tunggu aku sebentar lagi," lirih Bayu dan dijawab Ratna dengan mengeratkan genggaman tangan.
Ratna mengerti Bayu membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Lelaki itu perlu berduka sejenak.
--------
Nunggu follower nambah, baru up bab selanjutnya. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Sisi
RomanceCinta sejati bukan berarti dia yang datang pertama. Begitulah Bayu berdalih saat mendapati dirinya jatuh cinta pada Ratna, di saat sudah memiliki Ayu sebagai kekasih. Cinta pertama akan abadi selamanya, tetapi cinta pertama itu sering kali jatuh pa...