DUA PULUH EMPAT

6.9K 991 116
                                    

"Fi, kamu pernah nggak ditaksir cowok yang udah punya pacar?"

Ratna dan Fifi sedang memasak bersama untuk makan malam. Bakmi jawa menjadi menu pilihan mereka malam ini. Begitu mendengar pertanyaan Ratna barusan, gerakan Fifi mencuci sayuran terhenti. Gadis itu memandang shabatnya dengan mata memincing curiga. "Belum pernah. Kenapa? Kamu terlibat cinta segitiga?" tembaknya tepat sasaran.

Ratna membiarkan pertanyaan Fifi terabaikan sejenak. Dia memilih mengambil segenggam bawang merah dan putih yang sudah dicuci dan mulai menghaluskannya di atas cobek.  "Aku nggak tahu kalau dia udah punya pacar, Fi. Saat aku tahu statusnya, semuanya udah terlambat. Aku udah terlanjur cinta." Suara Ratna memelan di kalimat terakhir

"Siapa dia?" Fokus Fifi kini terpusat sepenuhnya pada Ratna. Disentuhnya tangan sang sahabat yang masih menggenggam ulekan. Tanpa suara, dia meminta Ratna menghentikan kegiatan. Ini saatnya untuk serius berbicara.

"Namanya Bayu. Dia teman KKN-ku dulu. Sori, aku baru cerita sekarang. Kamu ingat beberapa minggu yang lalu, aku pulang diantar pakai Honda Jazz? Itu Bayu dan pacarnya."

"Kamu kenal ceweknya juga?"

"Ayu itu siswa kelas Business English. Aku yang ngajar. Orangnya baik banget. Dia menerima aku sebagai temannya. Bagi dia, teman Bayu ya temannya juga."

Ratna mengembuskan napas panjang. Rasa bersalah terus menderanya setelah menerima pesan dari Bayu kemarin. Tentang keinginan pria itu menikahinya. Bagaimana jika Bayu akhirnya benar-benar memutuskan Ayu? Sehancur apa hati Ayu nanti?

"Tiga tahun lalu aku udah nolak Bayu. Aku bahkan ganti nomor hape. Terus sekarang semuanya kayak sia-sia aja, karena kami ketemu lagi dan Bayu bilang dia masih suka aku."

Ratna tersenyum sendu. Miris. Seharusnya dia berbahagia karena Bayu mencintainya sedalam itu, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ratna merasa telah menusuk Ayu dari belakang. Dirinya tak lebih dari seorang musuh dalam selimut yang pantas dijatuhi hukuman mati.

"Kenapa dia masih sama ceweknya kalau dia maunya kamu?"

"Bayu nggak sepenuhnya salah. Aku juga yang melarang dia putus. Aku terlalu takut dituduh jadi pelakor."

Ratna kembali menghaluskan duo bawang di atas cobek. Sebutir bawang merah meloncat keluar dari cobek karena Ratna meleset saat memukulkan ulekan. Dia membungkukkan badan dan mengambil bawang yang jatuh ke lantai. Dicucinya kembali umbi tersebut di bawah keran air.

Nggak usah segitunya sama bawang merah. Bawang merah kan jahat, suka menyiksa bawang putih.

Mengapa Bayu tidak pernah pergi dari benaknya? Semua ucapan dan tingkah laku lelaki itu, masih Ratna ingat dengan jelas. Seolah-olah otaknya telah diprogram untuk merekam segala hal yang berhubungan dengan Bayu. 

"Tindakanku udah bener kan, Fi?"

Fifi belum berkomentar lagi. Mungkin sahabatnya sedang memikirkan jawaban yang tepat. Kebisuan menyergap. Mereka berkutat dengan kegiatan masing-masing. Fifi menyeduh mie telur, sedangkan Ratna menghaluskan bumbu. Pekerjaan sederhana yang baru kali ini tidak bisa diselesaikan Ratna dengan cepat.

"Sialan nih bawang. Pedih banget mataku," keluh Ratna sambil memejamkan mata dan menutupnya dengan punggung tangan.

"Ratna ...." Fifi tahu bukan kandungan senyawa kimia dalam bawang merah yang membuat Ratna meneteskan air mata. Gadis itu perlu melepaskan beban di hatinya dengan menangis. Fifi bergerak mendekat. Dengan penuh kasih sayang dirangkulnya bahu sang sahabat.

Ratna menyerah. Walaupun dia pernah berjanji untuk tidak lagi menangisi patah hatinya, tapi air mata seperti mempunyai kehendak sendiri. Ratna luruh dan mulai terisak.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang