DUA PULUH ENAM

7.4K 1K 138
                                    

Ratna menggunakan tubuhnya untuk menahan agar Bayu tidak jatuh tersungkur. Dia mengerahkan segenap tenaga untuk memapah lelaki itu kembali ke dalam kamar. Saat berhasil mencapai tempat tidur, napas Ratna sedikit tersengal. Siapa sangka tubuh ramping Bayu ternyata berat. Berita bagusnya, Bayu tidak pingsan. Dia hanya terlalu lemah.

Bayu sudah kembali berbaring, Ratna meraba dahi dan lehernya. Demamnya tinggi meski Ratna tidak tahu pasti berapa suhu tubuh Bayu sebab tidak ada termometer.  Kaus abu-abu yang dipakai Bayu berwarna lebih gelap di bagian dada akibat banyaknya keringat. Ratna mengedarkan pandang ke seluruh kamar, pakaian bersih pasti tersimpan di lemari. Hanya saja Ratna tidak ingin menggeratak di wilayah pribadi Bayu tanpa meminta izin.

"Bayu, bangun dulu. Ganti baju. Kausmu basah. Nanti masuk angin." Ratna menepuk lembut pipi Bayu, memintanya membuka mata.

Bayu merintih pelan, matanya terbuka sedikit. "Na?" erangnya. "Aku mimpi ya?"

"Kamu nggak mimpi. Ini aku." Ratna menyentuhkan telapak tangan Bayu ke pipinya. "Aku nyata."

Mata Bayu kini terbuka lebar. Ibu jarinya mengusap pipi Ratna. "Kamu kenapa bisa di sini?" tanyanya.

"Aku khawatir. Teleponmu nggak aktif."

Bayu memang sengaja mematikan ponselnya. Dia ingin tidur tanpa ada gangguan. Walau akhirnya diganggu juga dengan kehadiran Ratna, tapi itu jenis gangguan yang menyenangkan.

"Ayo bangun dulu. Ganti bajumu."

Ratna membantu Bayu duduk dan meloloskan kaus lelaki itu dari kepala. Ini bukan situasi yang tepat untuk berpikiran mesum, tetapi Ratna tidak bisa menahan pipinya merona kala tatapannya jatuh pada perut rata Bayu yang membentuk kotak-kotak seksi. Untunglah kondisi Bayu sedang tidak memungkinkan untuk meledek. Mau ditaruh mana mukanya, jika ketahuan mengagumi fisik menawan lelaki itu?

"Aku buka lemarimu ya. Ambil baju bersih." Ratna meminta izin dan Bayu mengangguk, memperbolehkan.

Ratna membuka lemari berwarna putih dan menarik sebuah kaus longgar berbahan nyaman dari tumpukan teratas serta selembar handuk kecil. Ratna kembali ke tempat tidur dan mengelap keringat di tubuh Bayu dengan handuk tersebut.

Pipi Ratna memanas. Bukan karena tertular demam, melainkan karena menahan malu atas situasi intim yang menyergap mereka. Selain ciuman yang mereka lakukan tiga tahun lalu, ini merupakan kontak fisik terintim yang pernah Ratna lakukan dengan Bayu---atau lelaki manapun. Dari mana Bayu memperoleh semua otot sempurna ini?

Ratna meletakkan handuk dan membantu Bayu memakai baju ganti. Setelah memasukkan kaus yang basah oleh keringat ke dalam keranjang pakaian kotor, Ratna menyiapkan makanan. Ada rak kecil berisi peralatan makan di sebelah dispenser di sudut kamar. Ratna mengambil satu mangkuk besar beserta sendok dan menuangkan soto sapi yang dia beli dalam perjalanan menuju kosan Bayu.

"Bayu, makan dulu. Aku beliin soto sapi. Dimakan mumpung masih hangat."

"Lemes," rintih Bayu.

"Makan sedikit ya. Aku suapin."

Nyatanya hanya beberapa suap saja yang mampu ditelan Bayu. Makanan selezat apa pun terasa hambar jika sedang sakit begini. Bayu menggeleng saat Ratna bersiap untuk menyuapkan sesendok soto lagi. "Kenyang," dalih Bayu.

Ratna tidak mendebat. Dia meletakkan kembali mangkuk soto yang isinya bahkan belum berkurang separuh. "Sekarang minum obat." 

Bayu menggeleng. "Nggak mau."

"Panasmu tinggi. Kalau nggak minum obat, nggak akan turun."

"Nggak bisa nelen obat."

Ratna mendesah. Sore tadi dirinya dibuat resah dan luar biasa cemas ketika teringat bahwa Bayu tidak bisa menelan obat berbentuk tablet. Kecemasan yang membawa Ratna mengambil keputusan gila: Menelepon Gian dan meminta alamat Bayu. Entah apa yang dipikirkan Gian tentang dirinya, tapi Ratna tidak terlalu peduli. Yang ada di benaknya saat itu hanyalah memastikan kondisi Bayu baik-baik saja. 

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang