Aku tidak Bisa Menyetujui.

718 94 25
                                    



Suara tanda air mendidih sudah terdengar, membuatku beralih dari memotong wortel ke panci berisi air panas. Ku buka penutup panci itu dan uap air yang keluar seakan sudah sesak dan berdesakan dari dalam panci.

"Ma, airnya udah panas." Ujarku.

"Yaudah,tinggal aja ntar mama lanjutin. Kamu sana gih mandi. Nanti teman Eyang mau kesini." Kata mama, aku mengangguk dan pergi untuk mandi.

Sedangkan di ruang TV dengan bahagianya Enjun tertawa sambil bercerita dengan Eyang. Memang sangat manja pada Eyang. Heran aku.

"Ra. Mau kemana?" Tanya Eyang membuatku berhenti di tangga kedua.
Kemudian ku balik badanku kearah eyang.

"Mau mandi, eyang."

"Iya pinter. Nanti jangan sampai buat malu eyang." Ujar eyang aku mengangguk.

Cucu yang paling di sayang oleh eyang itu Enjun, sedangkan aku? Juga di sayang tapi lebih sering aku jadi bahan candaan. Entah aku baulah, apalah. Yang pasti setelah itu Enjun dan eyang akan sama-sama tertawa.







Selesai mandi, awalnya aku mau menonton televisi. Tapi eyang menyegahku menarikku untuk ikut dengannya menemui temannya.

"Oh ini Rara, aduh sudah besar anaknya." Ujar salah seorang nenek yang belum ku ketahui namanya.

Aku salim pada nenek itu, lalu ikut duduk di sebelah eyang.

"Jujun juga udah besar. Dia cakep. Belum ada gandengan juga. Pinter anaknya." Ujar si nenek depanku, aku jawab dengan kekehan saja. Ya memang Enjun udah besar. Nenek ini pasti tahu banget tentang Enjun.

"Rara lupa ya? Ini nenek Suni, waktu TK dulu kan sering main. Sebelum nenek pindah ke Solo." Jelas nek Suni.

Aku mengangguk lalu tertawa pelan. Sungguh, aku tidak ingat siapa nenek Suni ini.

"Pasti lupa ya? Ya Rara gak main di rumah nenek udah lama Jadi gak inget."

Kemudian nek Suni dan Eyang ketawa, aku juga ikut ketawa terpaksa.

"Assalamu'alaikum." Ujar seseorang masuk ke dalam rumah, aku menoleh mendapatkan seseorang yang ku kenal.

"Rara/Dejun?" Ujarku dan Dejun bersamaan saat dia juga masuk kedalam rumahku.

"Sini Jujun, ini cucu teman nenek dulu." Ujar nek Suni, lalu Dejun ikut duduk di sebelah nek Suni.

"Kalian udah kenal?" Tanya eyang. Aku dan Dejun mengangguk.

"Iya eyang, dia sahabat Hendery." Jawabku.

"Hendery? Siapa?" Tanya Eyang.

Ah lupa,  eyang belum tahu Hendery siapa.

"Teman Dejun dan Rara." Sahut Dejun, aku hanya mengangguk.

"Nek ayo pulang." Ajak Dejun.

"Kok buru-buru sih? Baru juga duduk."

Aku gak tahu kenapa, Dejun kelihatan bingung dan juga gelisah banget.

"Bentar dulu Jujun." Ucap nek Suni.

Oh Jujun tadi Dejun bukan Enjun.

"Begini nak Rara..."

"Kamu mau nenek jodohin sama Dejun. Gimana? Dia ganteng loh." Potong Eyang.

Untuk sekarang aku tahu rasanya waktu berhenti, dunia tak berputar, pening di kepala, mata kunang-kunang, tenggorokan sakit, dan hati yang terdengar pecah. Bukan karena aku sakit hati tapi pernyataan eyang tadi buat aku bungkam seribu bahasa. Buat aku hilang akal, dan hanya diam tanpa berkedip tanpa bergerak. Aku terkejut benar-benar terkejut.

(END) Hay HenderyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang