Aku Tunggu

724 86 8
                                        

Hari demi hari berlalu.
Bulan demi bulanpun juga sudah tak kurasa.
Tahun demi tahun lambat laun melupakan rasa.

Yang ku butuhkan sekarang bukan lagi mengemis cinta, mencari jati diri, atau meyakinkan bahwa siapa tambatan hati sebenarnya.

Terlalu tua untuk melakukannya.

Karena tentunya yang menjadi obatlah yang paling di butuhkan. Bukan hanya pelipur lara sebab memberi pundi-pundi kebahagiaan semata namun berakhir hanya nama.

Setelah lulus menempuh sarjanaku, aku melanjutkan mencari pekerjaan.
Ingatkah kalian tentang kak Yunoh?
Aku bertemu dengannya beberapa bulan yang lalu, ia sekarang benar-benar sukses. Lagu-lagunya selalu terputar dimanapun. Namanya juga berjejeran bersamaan poster dirinya.

Ia menginginkan aku kembali membantunya untuk menjadi managernya lagi. Tetapi, aku sudah nyaman di kantor swasta di Solo ini.

Menjadi seorang karyawan tak sesulit yang kuperkirakan sebelumnya. Setiap hari berangkat sebelum pukul 8 pagi, kembali ke rumah setelah pukul 4 sore atau kadang ikut lembur. Mengerjakan proposal-proposal, membaca analisis SWOT dan mengidentifikasinya. Ya seperti itu kurang lebih. Jadi aku sekarang lebih sibuk lagi.

"Numaira! Ayo kita makan di warung ramen yang baru di buka." Ajak Sania, teman kerjaku.

"Malas banget. Nggak lah. Makan di warung mbok Inah aja deket nggak panas." Tolakku, sungguh menembus siang di kota Solo itu juga Panas sekarang.

"Eih! Ayolah, sekali aja. Ntar aku beliin jus alpukat deh." Tawarnya.

"Apaan? Emang aku bocah apa? Tambah Bengbeng Max 3 bungkus aku mau." Putusku.

"Yah, sama aja dong. Udah ayo." Lalu Sania menarikku menuju motornya.













"Mau makan apa?" Tanya Sania sesampainya kita di tempat makan dan duduk di salah satu kursi kosong.

"Gak ada nasi pecel?" Tanyaku.

"Ini warung ramen, bukan warung depan alun-alun. Aneh deh."

Aku cekikikan, sengaja membuat Sania kesal.

"Eh terakhir aku lihat kamu jalan sama cowok minggu kemarin. Pacarmu ya?" Tanya Sania.

"Ha? Bukan. Dia adekku. Pacar mah males nyari, ntar kalo jodoh juga bakal ada yang lamar."

"Kalo nggak usaha ya nggak bakal ada hasil. Coba deh di kantor ada yang nyantol nggak?" Tanya Sania lagi.

Heran aku, dia ini selalu mendesakku agar cepat punya pacar.

"Siapa ya? Gak ada."

"Coba deh tengok dari devisi Administrasi tuh yang sering senyum manis itu siapa? Yang tinggi putih mirip artis korea itu. Eh yang kelahiran korea itu loh. Yang sering gugup setiap ngomong sama kamu. Aduh siapa namanya?"

Aku memikirkan siapa yang di maksud Sania.

"A! Itu Jinyoung. Dia kayaknya suka sama kamu deh."

"Ngawur! Pacarnya model tau! Udah makan. Aku gak mau ntar di marahin pak Yanto karena telat ya." Ucapku, kemudian dia berdecak selanjutnya melahap satu sumpitan mie ramen yang hangat.











Suasana Solo berbeda dengan Yogyakarta. Mungkin karena di Solo hanya berteman dengan orang-orang yang sibuk dan sangat serius. Oh kecuali Sania, dia orang aneh tapi menyenangkan.

Sania sudah di jemput oleh suaminya, sedang aku menunggu bus yang akan mengantarku di halte dekat kontrakanku di Solo.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti di depanku, seseorang dengan helm yang menutupi seluruh mukanya. Aku menyipitkan kedua mataku, menganalisis siapa orang di depanku itu.

(END) Hay HenderyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang