10

83 15 10
                                    

"Apa?"

"Aku menyukainya."

Minkyu tersenyum. Bagaimanapun dia ikut senang dengan sahabatnya ini.

"Wah wah.. jadi dia yang berhasil menaklukan hati seorang Ham Wonjin ya?"

"Yak! Apa-apaan kau?"

"Aku benar bukan? Kau yang aku kenal dulu adalah orang yang hanya fokus pada dance. Dan sekarang kau sudah mempunyai orang yang kau sukai. Aku ikut senang."

"Terimakasih, Minkyu-ya. Ah iya ayo kita kesana."

Minkyu pun mengikuti Wonjin. Ternyata benar, banyak anak-anak yang ada disana. Kebanyakan dari mereka mengidap kanker. Dalam hati, Minkyu bersyukur dia diberi kesehatan tapi dia juga ikut bersimpati pada mereka. Dia lalu membantu Wonjin menghibur mereka. Ngomong-ngomong, ini sudah menjadi jadwal rutin Wonjin dan Yireon setiap sore saat tidak ada latihan dance. Itu sebabnya mereka semakin akrab. Tak terasa, hari sudah mulai malam. Minkyu pun pamit untuk pergi mengikuti les.

"Wonjin-ah, Yireon-ah. Aku pamit dulu ya. Aku harus les. Aku tidak mau ibuku marah-marah lagi."

"Ya, hati-hati."

Minkyu pun pergi meninggalkan mereka. Wonjin dan Yireon pun bergegas membersihkan peralatan yang mereka gunakan tadi.

"Mau ku antar?"

"Boleh. Kau tidak latihan hari ini?"

"Tidak. Aku lelah."

"Ah begitu, ayo pulang."

Tak lama kemudian, bus yang akan mereka tumpangi pun datang. Mereka bergegas masuk. Untung saja masih ada tempat untuk mereka.

"Wonjin-ah, kau sudah kenal Minkyu sejak lama?"

"Ya. Kita berteman sejak sekolah dasar."

"Ah.. jadi begitu."

"Ada apa?"

"Tidak. Aku hanya ingin dekat dengannya."

"Kenapa?"

Wonjin merasa was-was menunggu jawaban Yireon. Dia takut hal yang di khawatirkannya terjadi.

"Sepertinya... aku menyukainya."

Ya, dan Wonjin harap dia tidak akan pernah mendengar Yireon mengatakan itu.

.
.
.
.

"Kau sudah pulang, Wonjin-ah?"

"Ibu? Ayah? Kapan kalian pulang?"

"Baru saja. Darimana saja kau?"

"Aku baru selesai latihan."

"Begitu, ya. Mandilah setelah itu kau makan malam lalu istirahat."

"Ayah dan Ibu masih akan disini, kan?"

"Tidak. Besok ayah harus ke Singapore dan Ibu harus ke Prancis."

Wonjin hanya bisa mengangguk lemah. Dia lalu masuk ke kamarnya dan membaringkan tubuhnya. Sedetik kemudian, air matanya menetes. Dia memikirkan kapan orangtuanya itu bisa memperdulikannya? Dia iri pada anak-anak yang lain yang bisa selalu bersama orangtuanya. Sedang dia? Bahkan tidak ada sehari dia bisa melihat orangtuanya.

"Selalu begitu. Kapan kalian ada waktu untukku, Yah, Bu. Apa aku harus sakit terlebih dahulu baru kalian akan melihatku?"

.
.
.
.

"Keumdong-ah!"

Donghyun tersenyum melihat Jiheon berlari ke arahnya. Gadis itu lucu sekali. Benar-benar terlihat seperti anak kecil.

"Aish, kenapa kau tidak menungguku?"

"Maaf maaf. Ayo berangkat."

"Sekolah kita beda jika kau lupa."

"Tapi berdekatan, bukan?"

"Ah ngomong-ngomong, bagaimana dengan Ayahmu?"

Donghyun terdiam. Ayahnya? Sudah pasti seperti biasa. Ingin rasanya dia kabur dari rumah. Dia tidak tahan mendengar Ayahnya yang selalu membuatnya merasa tidak berguna.

"Ayah? Seperti biasa."

"Kalian bertengkar lagi?"

"Tidak. Ayah memberiku waktu sampai bulan depan. Jika aku tidak bisa debut sampai bulan depan, ya katakan selamat tinggal pada impianku."

"Bagaimana kau bisa debut dalam waktu sebulan?"

"Aku tidak tahu."

"Aku akan membantumu. Kau tenang saja."

"Terimakasih, Jiheon-ah. Tapi bagaimana caranya?"

"Kak Wonjin. Aku yakin dia tahu caranya."

Donghyun tersenyum kecut. Wonjin lagi. Kapan gadis itu bisa peka akan perasaannya?

'Kak Wonjin.... apakah kau begitu menyukainya, Jiheon-ah?'















TBC~











Next?













Voment Juseyo~

To My YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang