19

69 12 3
                                    

"Keumdong-ah, aku lapar."

"Yasudah yuk kita cari makan dulu."

Mereka lalu mencari rumah makan untuk makan malam. Ya, tidak terasa mereka bermain sampai malam.

"Jiheon-ah."

"Iya?"

"Jika suatu saat nanti perasaanku berubah, apa yang akan kau lakukan padaku?"

"Maksudmu?"

"Kau tahu benar apa maksudku."

"Maksudmu... jika suatu saat kau menyukaiku? Aku.. tidak tahu. Aku hanya tidak ingin hubungan kita menjadi canggung."

"Benar juga. Aku juga memikirkannya."

"Ada apa?"

"Ah tidak. Tidak apa-apa."

'Mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengatakannya' batin Donghyun. Ya, memang apa yang dikatakan oleh Jiheon benar. Jika suatu saat mereka saling menyukai bisa jadi suasanya akan canggung. Toh, belum tentu Jiheon juga menyukainya seperti dia menyukai gadis itu.

"Untuk saat ini, aku ingin kita fokus pada impian kita, Keumdong-ah."

"Apa?"

"Debut. Itu impian kita kan? Kita harus saling mendukung. Bukankah kita sudah janji akan debut bersama?"

"Ya, kau benar. Kita harus debut bersama."

"Aku akan selalu mendukungmu. Kita sahabat bukan?"

Ya, sahabat. Dan mungkin akan terus jadi sahabat. Tapi untuk saat ini, Donghyun setuju dengan perkataan Jiheon. Mereka harus fokus pada impian mereka. Mereka pasti bisa debut bersama, kan?

.
.
.
.

"Ada apa, dek?"

"Kak Minkyu?"

"Iya ini aku. Kenapa kau murung seperti itu?"

"Tidak. Kau sendiri tidak belajar?"

"Aku baru saja mau belajar. Bagaimana dengan Wonjin?"

"Aku sudah jujur padanya."

"Lalu?"

"Dia memang terlihat senang bertemu denganku. Tapi hatinya.. sudah dimiliki orang lain."

Minkyu mengangguk. Ya, dia tahu benar siapa gadis yang mendapatkan hati Wonjin.

"Sudahlah, dek. Jangan terlalu dipikirkan. Fokus pada impianmu dahulu. Wonjin juga sama. Dia ingin fokus pada mimpinya."

"Kak Wonjin masih ingin menjadi idola?"

"Tentu saja. Kau tahu benar betapa keras kepalanya dia."

"Kalau kau sendiri, kak? Apa impianmu?"

"Aku... tidak tahu. Aku tidak mempunyai impian."

"Kau punya, kak. Kau hanya tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Beranikan dirimu. Kau bukan anak kecil lagi yang harus menuruti paman dan bibi. Kau 18 tahun sekarang. Kau sudah dewasa."

"Kau tidak tahu, dek."

"Aku tahu apa yang kau rasakan, kak. Itu sebabnya aku ingin kau mulai memberanikan dirimu. Sudah saatnya kau menentukan apa yang kau inginkan."

Minkyu terdiam. Keberanian? Bisakah dia melakukannya?

.
.
.
.

"Ham Wonjin."

"Yunseong? Ada apa?"

"Ini."

"Apa ini?"

"Formulir pendaftaran event bulan depan."

"Event ini kan..."

"Ya, benar. Kita bisa debut jika menang pada event kali ini."

"Lalu? Apa yang ingin kau bicarakan padaku?"

"Aku ingin kau bergabung dengan timku."

"Aku?"

"Aku yakin timku akan kuat jika kau masuk. Jadi?"

"Akan ku pikirkan. Berapa anak yang sudah bergabung?"

"3 anak termasuk aku."

"Baiklah akan ku pikirkan."

"Jika kau mau, temui aku di ruang kesenian. Kita biasa berlatih disana."

Seperginya Yunseong, Wonjin terlihat memikirkan tawaran tersebut. Bukankah ayah Yireon juga menawarkan hal yang sama padanya? Dia benar-benar ingin debut. Ini impiannya sejak kecil. Dan dia ingin membuktikan pada orangtuanya bakatnya ini. Tapi apakah dia bisa? Apakah dia benar-benar bisa debut?"

"Kakak pasti bisa debut, kok."

"Kau sedang apa disini..


















































































..Wonyoung-ah?"


















TBC~










Next?










Voment juseyo~

To My YouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang