See you again

9.6K 392 6
                                        

Fred memegang tanganku lembut waktu turun dari mobil. Seolah-olah aku ini puding yang leembut banget. Oh ya, aku nggak jadi pulang ke rumahnya Fred. Tante Shania memintaku pulang. Katanya, bagaimana pun dia adalah keluargaku satu-satunya. Fred mengizinkan dengan syarat, dia akan mengirimkan anak buahnya berjaga-jaga di sekitar rumah.

Tanta Shania menyambutku dengan membuka lengannya untuk memelukku. Kali ini, aku bisa merasakan kalau dia kangen sama aku.
"Gue kangen banget sama lo, Non."ia mengecup pipiku dengan sayang. Di sisi lain, Fred mengangkat barang-barangku dan meminta Rico memasang kamera tersembunyi dalam kamarku. Terus kalau aku nggak pakai baju gimana?

"Fred, kenapa pasang kamera di kamarku? Nanti semua orang bisa lihat aku ngapain aja dong!"seruku dengan tidak senang.
Ia terlihat ingin menjelaskan sesuatu, dan menunggu Tante Shania beranjak ke dapur. Aku mengikuti arah pandangnya.
"Tenang saja, itu tidak mengarah langsung ke tempat tidurmu. Hhmmm ... hanya sampai kursi itu," ia menunjuk kursi yang ada di depan meja rias.
Aku menghela napas panjang. "Tapi, kamu nggak perlu begitu,"
"Bella. Aku harus tahu apa saja yang terjadi denganmu setiap hari, bahkan setiap detik,"
"Terus kenapa nggak sekalian aja kamu pindah, Fred?"
Ia tertawa. Dan melanjutkan lagi, "aku mau ke London. Dan aku kurang percaya pada siapa pun di rumah ini dan di Jakarta."
Kalau aku menjawab, dia juga akan menjawab untuk meyakinkan aku. Terus saja begitu, sampai kuda berubah jadi jerapah.

"Rico, kamu harus memantau rumah ini. Jangan lengah."perintahnya dengan tegas pada Rico.
Aku berbisik pada Rico, "kamu tenang saja. Nanti kamu bisa temenin aku bareng Jess, ya?"
Ia mengangguk dan tertawa. Kami terus saja bercerita hal lucu tentang Jessica.

"Bella. Kemari!"ia memanggilku dengan nada suara kurang senang.
Sebelum aku menemui Fred. Rico mengatakan, "dia cemburu. Sebaiknya kamu temui dia atau dia akan memotong kepalaku."ia tertawa waktu mengatakan itu.

Fred memanggilku ke dalam kamar sambil menata koper-koperku.
"Apa yang dikatakan, Rico?"
Aku mengangkat alis kananku, Rico benar kalau Fred cemburu.
"Kita cuma ngomongin Jessica, kok. Menurut kamu, mereka cocok, kan?"
Ia tidak menjawab. Bahkan sibuk mengambil sweater untukku. Dan ia kalungkan ke leherku.
"Fred. Kamu marah?"
"Apa hakku untuk marah dengan orang yang ngobrol sama kamu,"
Lah, terus? Kok dia nggak mau lihat wajahku?

"Bella, istirahatlah. Wajahmu masih pucat."
Aku menarik tangannya mendekat. Hingga wajahnya dekat sekali dengan wajahku. Aku meletakkan kedua tanganku di dadanya. Jantungnya berdetak dengan keras. Matanya sayu, saat aku mengelus dagunya yang ditumbuhi rambut halus.
"Kenapa kamu marah?"
Ia mengalihkan pandangannya ke langit-langit.
"Aku tidak suka dengan semua laki-laki yang bicara denganmu terlalu dekat."katanya singkat dengan tatapan mata yang mengikat.

Kalian tahu rasanya tangan yang terbakar terguyur air dingin? Yah, begitulah perasaanku saat ini.

Tangan kekarnya, menarik pinggangku mendekat. Napasnya memburu, jantungku daj jantungnya saling bertalu kencang. Aku khawatir kami berdua bisa kehabisan oksigen tanpa berciuman. Hanya dengan saling memandang.

Dunia seperti berhenti berputar, kami begitu saja untuk beberapa saat. Dengan begitu singkat ia menempelkan bibirnya pada bibirku. Aku memejamkan mata seperti seseorang yang jantungnya tercopot paksa. Kakiku meleleh seperti lilin. Ia tidak menciumku lebih jauh, tapi malah menempelkan keningnya pada keningku. Seperti seseorang yang sudah sangat merindukan sesuatu.
"Aku rindu dengan saat-saat seperti ini."

"BUSET! LO BERDUA YA, NGGAK BISA GUE MELENG DIKIT. UDAH LENGKET AJA KAYA PERANGKO!"Seru Tante Shania yang bikin heboh hingga Rico tertawa dengan menutup mulutnya.

Fred langsung melepaskan pelukannya pada pinggangku. Dan kami berdiri dengan canggung.

"Udah selesai Tan, masaknya?"tanyaku basa-basi.

"Udah. Kenapa? Lo mau gue lamaan dikit?  Biar bisa ena-ena?"

"Apaan, sih tan!" aku malu saat tante Shania ngomong begitu.

Akhirnya aku ke dapur membantu menyiapkan sop ayam dan kue brownis kesukaan aku dan Fred.

Fred mendatangku ke dapur. "Eh, jangan masuk. Dapur ini nggak bagus dan nggak enak dilihat."
Saat aku menarik tangannya untuk keluar dari dapur, ia menahannya. "Bella, aku tidak peduli dengan dapurmu. Dari situlah kamu bisa memasakan makanan enak untukku kelak. Oh iya, aku tidak bisa lama-lama. Penerbanganku ke London tiga jam lagi."
Aku terdiam, ada rasa tidak senang ketika dia akan pergi lagi meninggalkan aku.
"Apa kamu mau ikut?"
"Enggak, Fred. Aku udah lama nggak kuliah. Aku kangen sama teman-temanku,"
"Kalau ada apa-apa tolong hubungi aku atau Rico,"
"Katanya nggak suka aku ngobrol sama Rico!"sahutku dengan bibir manyun.
"Kali ini berbeda. Tentang kamu adalah hal penting yang harus aku ketahui."

Ia segera mengambil kunci mobil. Lalu memelukku erat sebelum meninggalkan rumahku.

"Telepon aku. Kalau tidak bisa, tolong kirim email. Atau apa saja."ujarnya sambil berjalan ke halaman rumah. Ia menggandeng tanganku dan mencium punggung tanganku.

"I will be back, soon."
"Soon ..."kataku
"Soon."sahutnya lagi.

Kalau ada rasa paling perih karena luka. Aku lebih baik memiliki luka di sekujur tubuh. Dari pada harus ditinggal oleh Fred.

See you soon my love. Im gonna miss you.

Continue......

#challenge30harimenulis
#challengegrupPerempuanMenulis(PM)
#day20

Sweet AddictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang