Hate And Like

26.5K 696 4
                                    

Tidak terasa aku jatuh tertidur cukup lama. Jari-jariku menelusuri kelembutan selimut beludru berwarna krem. Lembut dan hangat.

"Sudah bangun?"suara yang aku kenal itu bertanya dengan nada yang dingin. Ia duduk di sofa sambil memandang ke luar jendela. Orang ini, kenapa tidak pernah mau menatap lawan bicaranya?

Ia menyesap kopinya dengan wajah datar. Lalu berjalan ke arahku yang masih berusaha mengumpulkan napas.

"Kalau tidak salah. Kita pernah bertemu di depan Kafe Soul."ujarnya lagi.

"Iya. Lalu apa yang harus aku lakukan?"tanyaku polos. Karena jujur saja, aku bingung harus bagaimana.

"Hahaha ... Brengsek!" ia tertawa sinis sambil menggumam dan mengumpat.

"Perempuan itu sudah banyak menyusahkanku. Dia sudah aku kasih banyak uang untuk membunuh seseorang. Tapi, apa yang dia lakukan?!"teriaknya sambil mengguncang lenganku. Aku merasa lenganku digenggam dengan erat, hingga menimbulkan rasa sakit.

"Aku nggak tahu ada apa dengan kalian? Apa yang sudah tanteku lakukan? Sungguh aku nggak tau. Tapi, tolong minta apa saja ke aku, agar kamu bisa maafin dia."

"PELACUR BRENGSEK!!" ia mendorongku ke ujung tempat tidur dan mencekik leherku. Aku tidak bisa bernafas, aku kehabisan oksigen. Setelah ia melepaskan cekikannya, aku terbatuk.

"Kamu mau tahu apa yang sudah dilakukan pelacur itu?"matanya berkilat marah dan tangannya bergetar ketika mencekik leherku. Aku rela mati, jika Tante tidak diganggu lagi oleh laki-laki ini.

"Ia tidur dengan orang yang seharusnya ia bunuh. Ia datang kepadaku karena membutuhkan banyak uang untuk membeli obat-obatan terlarang dan berpesta. Dengan satu syarat, ia harus memberi racun dalam obat yang di konsumsi oleh Jason Smith. Aku meminta pelacur itu membunuhnya, sebagai imbalanku. Tapi, terlambat. Bajingan itu telah membunuh ibu kandungku. DAN SEMUA KARENA PELACUR ITU!" teriaknya hingga telingaku berdengung. Tubuhku kaku mendengar penjelasan berbalut emosi, kalut dan kesedihan yang begitu dalam.

Hatiku mencelos, seperti rela jika ia akan mencabut paksa nyawaku saat ini juga.

"Lalu, kamu mau apa? Silahkan bunuh aku jika hal itu membuatmu lega. Dan dendammu terbalaskan."

Ia menatapku dengan tatapan dingin dan mengepalkan tangannya hingga memutih.

"Kenapa kamu tidak melawan? Aku tahu kamu bisa menghajarku saat ini juga."

"Tanteku sudah bersalah karena ceroboh. Aku tidak dalam posisi harus melawan, aku ingin dia hidup sebagai satu-satunya keluargaku."

Ia menyipitkan matanya. Lalu bergumam sesuatu yang tidak jelas.

"Tidak semudah itu. Aku tidak akan membiarkanmu mati begitu saja. Terlalu mudah. Tanpa berbuat apapun untukku."

Ia berjalan membuka pintu. Wanita paruh baya itu, melihatku dan Fred bergantian.
"Tolong panggilkan dokter Reynold, bik,"pintanya. Seorang pria berwajah teduh mengenakan stelan kasual jeans dan kaus berkerah masuk dan duduk di sofa menghadapku.

"Ini orangnya, Rey. Gimana menurutmu?"

"Ya, terserah kau saja. Aku akan bantu untuk lakukan pemeriksaan lanjutan."ujarnya dengan alis bertaut. Sesekali ia melihatku dari ekor matanya. Dia terlihat gugup, tapi tatapannya tidak sedingin Fred.

Aku menelan ludah. Apa yang sedang mereka rencanakan?

"Apa menstruasimu teratur?"tanya Dokter Reynold. Seketika pertanyaan itu menimbulkan semburat merah di wajahku.

"Iya ... cukup teratur. Tapi, dokter. Memangnya ada apa?"tanyaku penasaran. Ia terdiam, lalu melirik ke arah Fred yang asik dengan ponselnya.

"Biar aku jelaskan padanya. Sekarang, tolong kau keluar sebentar, Rey."

Sweet AddictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang