Samar-samar aku melihat bunda. Ah, iya itu bunda. Anehnya, dia nggak ngomong apa pun. Bunda cuma mengelus kepalaku lembut dan menggenggam kedua tanganku. Beliau memberikan aku kekuatan.
Apa ayah juga ada? Kenapa aku nggak bisa lihat ayah? Aku kangen...
Aku memilih duduk di sebuah taman tempat aku dan bunda makan es krim. Bayang-bayang sosok ayah menghampiriku. Tapi, wajahnya kurang jelas dan berkabut.
"Arabella Ray. Jadilah wanita kuat. Seseorang membutuhkanmu."
"Siapa, Ayah?" aku penasaran karena aku nggak bisa melihat ayah. Aku hanya bisa mendengar suaranya.
"Seseorang yang menerimamu apa adanya."
Aku menangis karena rindu. Aku juga menangis karena merasa sendirian. Lebih baik aku bersama ayah dan bunda.
"Kamu tidak sendiri. Seseorang merindukanmu. Kalau kamu ikut ayah, Freya dan Kalevi nggak akan punya ibu."
"Aku belum mau punya anak, Yah." aku menangis sesenggukan di taman. Aku belum sanggup punya anak.
"Mereka mencintaimu, Nak."
"Tapi aku mau ikut ayah dan bunda." rengekku lagi. Mereka menghilang dan nggak peduli dengan rengekanku.
Aku melirik dan melihat Fred jatuh tertidur sambil menggenggam tanganku yang sudah ada kabel infus.
Seorang suster masuk dan mengganti botol infus. Dengan pelan ia membangunkan Fred.
"Mr. Clarke, anda bisa tidur di dalam ruangan itu." sarannya pada Fred."Tidak. Aku akan tidur di sofa itu atau di samping, Bella."jawabnya tanpa memedulikan wajah kecewa dari suster itu.
"Fred. Suster itu benar, lebih baik kamu tidur di ruangan itu," kataku sambil menunjukkan ruangan satunya.
Dokter Reynold masuk dengan bibir lebam dan tangan kirinya ia perban.
Memangnya kenapa dia?
Samar-samar aku mengingatnya. Aku ingat Fred memukulnya.
"Bella ... bagaimana perasaanmu?"
Aku baik-baik saja. Hanya saja aku merasa ada yang hilang dan sesuatu sedikit nyeri dibagian bawah tubuhku.
"Aku baik-baik aja."
Fred mengamatiku dari ekor matanya. Tangannya terkepal hingga buku urat jarinya terlihat.
"Besok kita pulang." ujar Fred terdengar seperti perintah.
"Rey, bagaimana keadaan kandunganku?"
Reynold mendekat. Aku penasaran dengan jawabannya.
Ia menunduk bibirnya seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi ia malah tersenyum.
"Bella. Aku bisa membantumu lagi. Aku rasa, memang belum saatnya ..."
"APA? APA REY? BELUM SAATNYA APA?!" teriakku tanpa memedulikan disekeliling.
"Bella ... biar aku yang jelaskan. Aku bisa ..."
"Diam kamu Fred!" entah dari mana datangnya keberanianku yang hanya duduk di tempat tidur.
Kata ayah, akan ada Freya dan Kalevi. Apa maksud ayah aku kehilangan mereka?
Fred tidak peduli aku melarangnya mendekat. Dia terus saja mendekat dan duduk di sampingku. Lengannya merengkuh pinggangku. Mataku buram dan jantungku berdebar hebat. Aku mau marah, tapi nggak jelas marah karena apa. Aku merasa seperti ada sesuatu yang dicabut paksa dari hidupku.
"Tinggalkan kami, Rey."
Reynold meninggalkan ruangan dengan wajah muram. Ia melarang perawat masuk ke dalam.
Tangan kekar Fred menyandarkan kepalaku pada bahunya. Bau tubuhnya membiusku sekilas.
"Bella, apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkanmu. Kita bisa memulainya lagi dari awal."
Aku tidak menyahut, kepalaku sibuk memikirkan apakah aku sudah kehilangan janinku?
"Fred, aku mimpi ketemu ayah dan bunda. Mereka bilang, aku ... aku akan punya Dua anak yang menungguku. Lalu, apa aku sudah kehilangan mereka?"
"Sssttt ... sudahlah jangan dipikirkan. Kita bisa memiliki lebih dari Dua anak yang lucu,"
"Apa maksudmu, Fred? Berarti saat ini aku sudah kehilangan janinku?" tanyaku sambil menangis.
Fred terus saja mengusap punggungku. Ia terus mengatakan kalau semuanya baik-baik saja dan akan kembali menjadi normal. Ia mengatakan kalau ia akan datang meminta ijin dari pamanku untuk menikah.
Besoknya aku terkejut ketika bangun sudah melihat Jessica dan Fred ngobrol.
"Lo gimana, Bell? Otak lo ada yang rusak nggak?"
"Lo pikir gue geger otak?"
"Woi ... apa kabar?" sapa Farel sambil membuka pintu. Ia berlari dan memelukku.
"Bau ih, udah berapa lama lo nggak mandi?"
"Sialan mulut lo, mulus banget kayak jalan tol." kataku lagi.Fred hanya memandangi aku dan kedua sahabat gilaku ini. Ia tersenyum sesekali karena mendengar celotehan Jessica dan Farel.
Cuma Dante yang nggak datang. Mungkin dia kesal dengan semua keputusanku.
"Bell, lo harus kuat. Jangan pernah berpikir bahwa lo nggak bisa laluin semua ini," tiba-tiba wajah Jessice berubah jadi sendu. Farel memerhatikan kami yang pelukan kaya kembar siam.
"Gue nggak tahu harus gimana, Jess. Gue ngerasa kayak ada yang hilang dalam diri gue,"
"Mungkin belum rejeki lo, Bell. Dan lo harus bersyukur karena sampai hari ini lo masih selamat.""Ya Jess. Gue benci banget sama mereka yang bikin gue sakit begini,"
Farel tepuk tangan, dan berputar sambil bergaya ala tukang sulap dan bikin Jessica ngakak, aku juga ngakak nggak karuan.
"Ok, guys. Besok Bella akan pulang ke rumah. Dan aku harap kalian bisa sesekali datang menjenguknya." Akhirnya cowok yang dari tadi cuma duduk sambil memerhatikan aku dan teman-temanku bisa bersuara. Dia terlihat lebih tegang dari biasanya. Dia terlihat khawatir, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Setidaknya Jessica benar, aku harus bersyukur bahwa aku masih selamat hingga hari ini.
CONTINUE.......

KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Addiction
General FictionWARNING 21+ Arabella seorang mahasiswi cantik yang agak tomboy. Dijebak dalam situasi sulit oleh pengusaha tampan, yang ingin menitipkan benih pada rahimnya. Tanpa pernah bertemu, tanpa pernah kenal, pria itu mengharuskannya hamil dan memaksanya men...