WARNING 21+ Arabella seorang mahasiswi cantik yang agak tomboy. Dijebak dalam situasi sulit oleh pengusaha tampan, yang ingin menitipkan benih pada rahimnya. Tanpa pernah bertemu, tanpa pernah kenal, pria itu mengharuskannya hamil dan memaksanya men...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cahaya matahari menembus jendela kamar dan membuat tubuhku menghangat. Aku terbangun karena rasa lapar yang teramat sangat. Tentu saja aku sangat mudah lapar sekarang ini, beruntung kami memiliki stok makanan dalam kulkas di sudut kamar.
Saat aku terbangun, Fred sudah tidak ada di kamar. Ia meminta Bik Sri memberikan aku susu hangat yang sudah ada di meja samping tempat tidur. Aku mengelus perut yang sudah amat besar ini. Fred mengatakan kalau terkadang dia ngilu melihat aku berjalan dengan perut besar. Bahkan saking besarnya terlihat menempel dengan dada yang juga membesar.
Hidungku mengendus wangi lezat masakan. Air liurku hampir saja menetes.
Bik Sri tersenyum sambil menata meja makan. "Wah, segar sekali wajahnya. Tambah bulat, ibu dan bayinya. Tapi, kok besar banget yah, Non?" tanyanya dengan nada yang ramah.
Aku tidak tahan untuk tidak memberitahunya. "Iya Bik, karena di dalamnya ada dua bayi," kataku lagi.
Dia terkejut sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia tersenyum sambil mengelus punggungku dan merapalkan doa agar aku selalu sehat dan melahirkan dengan lancar.
"Saya senang banget dengarnya, ya Tuhan terima kasih." Bik Sri terus-terusan mengucap syukur pada Tuhan.
Bik Sri memintaku untuk duduk dan memberikan sarapan sup krim dan roti garlic yang sangat enak. Kemudian dari kejauhan Fred membawa beberapa berkas ditangan kanannya, Boni juga berjalan dengan wajah yang begitu serius. Bahkan Fred tidak segera menghampiriku saat duduk di ruang tamu. Baru setelah Boni pergi, ia datang dengan wajah lelah.
"Pagi, sayang. Bagaimana tidurmu?" Ia mengecup pucuk kepalaku dan mengelus perut besarku.
"Ada apa?"
Dia tidak langsung menjawab. Tapi, sesekali tersenyum dan mengelus lenganku.
"Tidak ada apa-apa, Sugar," jawabnya sambil duduk dan mengambil roti yang sudah diolesi butter.
Aku tahu betul suamiku. Dia tidak akan diam jika tidak ada sesuatu yang mengganggunya.
Fred menghela napas dengan bibir menggumam sesuatu yang tidak jelas.
Setelah banyak diam, akhirnya dia bersuara dan memecahkan keheningan.
"Sayang, aku mau pergi ke London beberapa hari saja. Aku harus mengurus perusahaan di sana."
Aku termenung memikirkan kalau kami baru saja kembali dari London beberapa bulan yang lalu.
"Begini, aku boleh ikut, ya?"
Aku mengatakannya dengan wajah memelas. Walaupun aku tahu ada masalah serius yang harus ia hadapi di sana. Tapi, aku tidak mau ditinggalkan sendiri.
Fred menggeleng dengan cepat. Ia memegang tanganku. Mengecup punggung tanganku dengan bibirnya yang dingin.
"Aku tidak akan mau menanggung resiko jika terjadi apa-apa dengan kalian."