Dua Puluh Enam

7 1 0
                                    

Willis

Udah hampir seminggu kepulangan kita dari Banten, gue masih kepikiran kejadian malam terakhir di Sawarna

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Udah hampir seminggu kepulangan kita dari Banten, gue masih kepikiran kejadian malam terakhir di Sawarna. Memang sih ngga ada yang berubah dari Lala. Tapi, entah kenapa rasanya jadi canggung banget mau nge chat duluan.

Dari tadi bolak balik room chat nya Lala tetep aja ngga ada tanda tanda dia mengetik. Cerita ke Dyo, gue malah di bego bego in. Mau cerita ke yang lain, tapi pada sibuk. Dan juga Dyo orang yang tau kehidupan gue. Jadi kalo sama yang lain gue masih ngga bisa seterbuka itu.

"APA APAAN SIH KAMU! MULAI SEKARANG NGGA USAH NGATUR HIDUP AKU LAGI!"

Pyaaaarrrr

"DASAR PEMBANGKANG!!!"

Bangsat! Apalagi sih yang diributin sama mereka. Baru aja gue merasakan ketenangan sekarang udah mulai denger pertengkaran.

Mau ngga mau gue berjalan keluar kamar dan melihat lantai dasar yang udah berantakan sama pecahan barang-barang. Gila memang. Tapi gue bahkan ngga bisa melakukan apa-apa karena saking keselnya. Gue bahkan ngga tau apa yang dijadikan pemicu pertengkaran mereka.

"DIAM! KAMU NGGA NGERTI GIMANA AKU KERJA KERAS  BUAT MENCUKUPI HIDUP KALIAN. TAPI APA BALASAN KAMU HAH? KAMU MALAH-----"

"NGGA USAH MUTAR BALIK FAKTA. AKU TAU APA YANG KAMU LAKUKAN DIBELAKANG AKU."

Dengan santai gue menuruni anak tangga sambil  pake jaket hitam seolah gue ngga lihat apapun. Jujur, gue ngga betah melihat mereka berdua seperti itu. Cukup belakangan ini tiap malam gue mendengar teriakan teriakan mereka.

"Willis.. Kamu mau kemana?" tanya mama gue saat gue melintas di sebelah mereka.

"Main." balas gue datar. Gue ngga maksud menyakiti hati mama gue, tapi gue terlanjur muak dengan semua ini.

"Ikut mama." mama gue tiba-tiba menarik tangan gue menuju keluar rumah. Baru satu langkah gue berjalan, sekarang giliran papa angkat bicara.

"NGGA BISA. Willis ikut sama aku. Dia anakku."

Mama gue yang ngga mau kalah pun dengam cepat memutar tubuhnya dan semakin menggenggam erat tangan gue. "Aku yang melahirkan dia. Aku ngga mau anakku tinggal bersama bajingan seperti kamu." ucapnya tajam dan penuh tekanan di setiap katanya.

"Aku tetep di sini." kata gue cepat sebelum papa membalas ucapan mama.

"Bagus. Kamu memang harus di sini, Will.." papa gue berjalan mendekat sambil tersenyum menang.

"Aku di sini bukan berarti memihak papa. Tapi karena satu hal yang ngga bisa aku tinggalin."

"Willis. Kalo kamu ikut mama, kamu akan menemukan hidup yang jauh lebih baik. Percayalah."

"Maaf, Ma. Yang satu ini jauh lebih berharga dari apapun." gue menjeda ucapan gue sejenak. "Dan satu lagi. Aku muak dengan pertengkaran kalian berdua." tegas gue lalu melangkah keluar rumah.






FRIENDSHIP GOALS? - SEHUN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang