Empat Puluh

9 1 0
                                    

Part ini sedikit pendek, soalnya ide nya mentok segini doang hehehe.  But, happy reading guys








Zea

Malam ini, keluarga gue sepakat mengadakan makan malam dengan keluarga nya Robin di sebuah hotel mewah. Kenapa? Sebab si Robin mempercepat kuliahnya dan akhirnya wisuda bulan depan. Makanya, selagi menunggu ia di wisuda, Robin balik ke Indonesia.

Sejak tadi, perasaan gue ngga karuan. Entah apa yang sebenarnya gue rasakan dan apa yang hati gue mau, gue sendiri ngga ngerti. Gue gelisah sendiri, papa dan mama terlalu bahagia dengan kedatangan Robin yang digadang gadang menjadi menantu idaman mereka. Sedangkan Aldo, dia tidak mau ikut karena banyak tugas. Tapi yang jelas, dalam perjalanan kali ini rasanya waktu berputar sangat cepat hingga tak terasa mobil papa sudah terparkir manis.

Mau ngga mau, perlahan gue membuka pintu mobil dan turun dari sana. Kaki gue terasa berat melangkah masuk ke dalam hotel bintang lima tersebut. Tapi sekali lagi, gue ngga bisa menolak. Meski berat, gue tetap melangkah masuk ke sana. Dan sedari tadi pula, gue merasa ngga ada henti henti nya gue menghela nafas panjang.

Om Revan, Tante Dina dan Robin yang sedang duduk lantas berdiri menyambut kedatangan keluarga gue. Seperti biasa, gue bersalaman kepada mereka berdua dan ngga lupa gue juga tersenyum ramah kepada Robin.

Syukurlah, makan malam kali ini tak banyak membahas tentang perjodohan antara gue dan Robin. Mereka ber empat hanya mengobrol santai sambil diselipi candaan yang menurut gue ngga ada lucu lucu nya. Gue dan Robin? Cuma diem menjadi pendengar setia dan tertawa beberapa kali. Ya ngga enak aja kalo gue diem karena jokes mereka yang terkadang garing.

Di tengah obrolan seru mereka, tiba-tiba Robin nyeletuk, "Maaf menyela. Boleh saya dan Zea pergi keluar?"

"Oh iyaa boleh boleh, silahkan." balas papa gue pertama kali.

"Iya, gapapa, tapi nanti sekalian Zea kamu anter pulang aja ya, Bin." imbuh om Revan.

Robin mengangguk lalu memberi kode ke gue supaya mengikutinya keluar.

Di mobil, kita berdua udah duduk di posisi masing-masing. Dan perlahan Robin mulai menyalakan mesin dan melaju dengan kecepatan sedang.

"Apa kabar, Ze? Udah lama ya kita ngga ketemu." ucap Robin basa basi.

"Baik. Lo sendiri?"

"Aku juga baik. Ngomong-ngomong, aku perhatiin dari tadi kamu keliatan murung, ada apa?"

"Bin,"

"Iya, Ze?"

"Lo yakin dengan perjodohan ini?"

Robin diam, sepertinya ia enggan membahas soal perjodohan balas budi ini. Gue pun mengerti dan mengalihkan topik lain.

"Ke taman kota aja ya."

Ia mengangguk dan mengarahkan laju mobilnya menuju taman kota. Sebenarnya ngga ada yang spesial di sana, hanya taman biasa yang dihiasi lampu taman, tapi suasana yang asri membuat taman itu cukup banyak pengunjung datang ke sana.

"Zea, wisuda aku nanti, kamu datang ya?"

"Ha? Ke Jerman maksudnya?" tanya gue ngga percaya.

"Iya. Tenang, semua keperluan kamu udah aku siapin, jadi kamu tinggal berangkat aja."

"Bin, serius? Gue ke sana sendirian?" bukannya apa sih, tapi ini kali pertama gue ke luar negeri. Selain itu, gue datang ke acara wisuda nya Robin. Se spesial itukah gue?

"Engga, nanti bareng papa, mama sama aku."

Gue diam sejenak. Memikirkan apa yang harus gue lakukan, menolak atau menerima. "Tapi Bin_"

"Please, Ze. Aku tau kamu ngga ada rasa sama aku. Tapi usahakan kali ini kamu datang di acara penting aku."

Mendengar Robin memohon, hati gue jadi ngga tega untuk menolak. Akhirnya gue pun mengiyakan permintaannya. "Ok, gue akan usahakan bisa datang ke sana."

"Makasih Zea.."  balas Robin tersenyum lega. Gue pun membalas senyumannya. Karena entah kenapa perasaan gelisah dan campur aduk gue sedikit berku. Mungkin karena iming-iming Jerman membuat gue bahagia.

Namun, baru aja gue akan membayangkan betapa indahnya negara Eropa. Mata gue ngga sengaja menangkap pemandangan yang membuat gue kehilangan kata-kata. Di sebrang jalan tempat mobil Robin diparkirkan, di sana, gue melihat Willis dan seorang wanita tengah berciuman persis di sebelah mobil Willis.

Lagi dan lagi, hati gue dibuat mencelos. Gue bingung dengan hati gue, padahal gue tau kalo Willis seorang playboy, tapi kenapa melihat ia bercumbu secara langsung membuat jantung gue berdetak kencang?

"Zea, kamu ngga turun?" tanya Robin membayarkan tatapan gue ke Willis dan cewek itu.

"Bin, kita pindah tempat aja yuk, di sini lagi rame banget, aku males."

Mendengar penuturan gue, Robin tampak bingung namun ia menyetujui untuk mencari tempat lain. Ia pun kembali menyalakan mesin mobilnya dan melaju meninggalkan taman kota.

Di sepanjang jalan yang entah kemana, gue diam seribu bahasa. Entahlah, pikiran gue jadi kalut. Kenapa Willis terlihat baik-baik saja di depan cewek lain? Sedangkan saat ketemu gue dia memalingkan muka. Apa emang bener, kalo sebenernya sumber masalahnya Willis adalah gue?

"Zea, kamu gapapa?"

"Gue pingin pulang, Bin." jawab gue lesu.

"Loh, kenapa? Kamu sakit?" panik Robin sambil menempelkan telapak tangannya ke dahi gue.

"Ngga tau. Tapi tiba-tiba gue pusing aja."

"Mau ke dokter dulu?"

"Ngga usah. Pulang aja."

"Yaudah, kamu istirahat aja, jangan lupa minum obat."















To be continued....

Vote dan komennya guys.....

FRIENDSHIP GOALS? - SEHUN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang