Empat Puluh Satu

8 1 0
                                    

Selamat membaca.......




Zea

Sepulang nya Robin dari rumah gue, gue langsung menuju ke kamar dan menutup pintu rapat rapat. Gue merenungkan diri gue sendiri. Ada apa dengan diri gue sendiri? Kenapa gue begini? Kenapa hati gue nyeri mengingat kejadian barusan?

Hingga tanpa sadar, air mata gue menetes tanpa henti. Gue menangis dalam diam. Terisak dalam keheningan malam dalam kesendirian. Dan perlahan, gue menyadari bahwa rasa sakit hati yang gue rasakan bukan hanya perasaan sakit hati sebagai seorang teman. Gue ngga mau kehilangan Willis, karena ternyata orang yang selalu ada di hati gue itu dia. Willis Davience. Akhirnya gue sadar dan mengerti perasaan gue sendiri.

Gue suka sama Willis, lebih dari seorang teman.

.....................


Paginya...

"Lah, Ze? Lo habis nangis?" tanya Delia menatap gue khawatir. Kita berdua sekarang lagi ada di tongkir sambil nunggu jam masuk seperti biasa.

"Keliatan banget?"

"Iya. Lo kenapa?"

Gue cuma tersenyum tipis menanggapi pertanyaan Delia. Gue ngga mampu mengakui perasaan gue setelah menyaksikan kejadian semalam. Gue bego emang. Kenapa gue bisa seterlambat ini menyadari perasaan gue sendiri.

"Lazefa, Delia? Kalian di sini juga ternyata." mendengar suara sapaan Kak Dyo membuat gue mendongak. Gue terpaku melihat Kak Dyo ngga sendirian, tapi ia datang bersama Willis yang lagi berdiri di sampingnya.

Kak Dyo menatap gue lalu beralih menatap Willis yang sama sekali ngga menatap ke arah gue.

"Yo, gue__"

"Duduk bentar sini Will, masuknya masih lima belas menit lagi." potong Kak Dyo. "Lazefa, kamu__"

"Maaf kak, aku duluan ya." kali ini giliran gue yang memotong ucapannya Kak Dyo. Tanpa memperdulikan Delia, gue langsung pergi ninggalin mereka bertiga. Gue ngga bisa lama-lama melihat Willis. Antara menyesal, marah, dan miris, semuanya ga karuan di dalam hati gue.



Willis

Lala? Dia kenapa?
Sejak gue dan Dyo menginjakkan ke tongkir dan menghampiri Lala serta Delia, gue udah bisa lihat ada yang salah sama dia. Dan ternyata memang benar, saat ia mendongak gue melihat sekilas matanya sembab. Namun dengan cepat, gue mengalihkan pandangan gue ke sembarang arah.

Apa dia menangis semalaman? Apa dia ada masalah? Jujur aja, gue ngga pernah melihat Lala sampai segitunya. Sesedih sedihnya Lala, ngga biasanya dia sampai sekacau itu.

Tapi, semua rasa kekhawatiran dan penasaran gue hanya terucap dalam hati. Dan karena itu pula, gue ngga sanggup lihat Lala seperti itu, makanya gue beralasan hendak pergi, namun Dyo malah nahan gue buat duduk. Mau ngga mau, gue pun ngikutin kata dia.

Tapi, belum sampai satu menit, sepertinya Lala sadar kalo gue ngga mau ada di sini. Oleh karena itu, giliran dia yang mencari alasan dan pergi gitu aja.

Saat ia benar-benar pergi, gue menatap Delia. Begitu juga dengan Dyo yang menatap Delia penuh tanya.

"Gue juga ngga tau Zea kenapa." ucapnya mengetahui maksud dari tatapan kita berdua.

"Udahlah Will, mending lo aja yang ngalah dan tanya dia baik-baik. Gue yakin lo juga gelisah kan liat Lazefa kayak tadi?" ucapan Dyo bener tapi gue ragu. Sekarang, di sampingnya bukan cuma gue, tapi Robin. Gue ngga sanggup mendengar keluhan dia tentang Robin, karena memang seharusnya bukan Robin yang ada di sampingnya Lala.


............

Selesai jam kuliah, sekarang gue dan Rafael didudukkan oleh Rendy, Vino, Dyo dan Delia di rooftop. Mereka ber-empat duduk di hadapan kami dengan tatapan penuh selidik secara bergantian. Rupanya, mereka diam diam mengatur pertemuan ini. Masalahnya, kejadian gue berantem sama Rafael udah lebih dari seminggu yang lalu. Kayaknya sih mereka ngamatin dulu gimana perkembangan hubungan pertemanan kita berdua.

Gue dan Rafael daritadi cuma diam dan ngga saling tatap. Ngga tau aja, rasanya gue masih kesel banget kalo liat muka dia.

"Kenapa kalian diem aja? Ngga lanjut berantem?" ucap Dyo membuka sidang dadakan ini.

Hening.

Kita berdua ngga ada yang berniat membalas ucapan Dyo.

"Kalian ngga lupa umur kan?" lanjutnya lagi.

"Apaan sih kalian pake beginian segala." sinis gue sambil berdiri hendak meninggalkan mereka.

"Eeh eeh duduk kak duduk, santuy." cegah Delia mendudukkan gue kembali.

"Yaudah cepet kalian mau apa?"

Dyo dan Vino sama-sama menghela nafas, sedangkan Rendy cuma natap sekeliling sambil sesekali bersiul.

"Oke, kalian berdua sebenernya ada masalah apa?" tanya Dyo.

"Yo, kejadian ini tuh udah lewat, basi mau dibahas." kata Rafael.

"Kita juga ngga bakal gini kalo bukan karna kalian. Sadar ngga sih, kita semua ngga tau kalian berdua ada masalah apa tau tau udah pada bonyok." kali ini Vino yang membalas ucapan Rafael.

"Kita seminggu ini diam juga kita pikir kalian bakal bisa nyelesai-in, tapi nyatanya tetep aja ngga saling sapa." imbuh Rendy ikut angkat bicara.

Dyo natap kita bergantian, "Kalian berdua udah ngga nganggep kita sahabat lagi?"

"Ngga gitu, Yo." jawab gue dan Rafael bersamaan.

"Terus?"

Srrt srrt

Mendengar suara langkah kaki, kita semua reflek noleh ke sumber suara dan seketika kita semua membeku melihat siapa yang datang.









To be continued.........

Vote dan komennya jangan lupaa

FRIENDSHIP GOALS? - SEHUN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang