Zea
Seiring waktu terus berjalan, akhirnya keberangkatan gue ke Jerman tiba esok hari. Di malam yang menurut gue sunyi ini, semakin membuat perasaan gue bimbang. Meskipun cuma tiga hari di sana, tapi berat rasanya meninggalkan tanah air. Gue juga ngga bakal bisa ketemu sama temen-temen selama tiga hari. Terutama Willis, yang semakin hari memenuhi fikiran dan relung hati gue. Ditambah lagi, Willis yang akhir-akhir ini malah sering datang ke rumah, hingga membuat mama bertanya ada hubungan apa diantara kita berdua. Secara, setelah dua bulan lebih ngga pernah datang, tiba-tiba jadi sering berkunjung. Sampai-sampai, mama dan papa mewanti wanti supaya gue jaga jarak sama Willis, dimana petuah itu ngga pernah gue hiraukan. Sebab, mau bagaimanapun, hati ngga bisa dipaksa.
Sembari memasukkan keperluan gue ke dalam koper, pikiran gue melayang mengingat Willis yang pernah bilang mau serius dengan satu cewe. Sampai sekarang pun, ia masih belum mengatakan atau bahkan memberi clue siapa cewe tersebut.
Antara mundur atau tetap bertahan, hati gue masih bingung menentukan keputusan. Kalau gue mundur, hati gue rasanya enggan. Sedang kalau tetap bertahan, jelas hati gue yang akan jadi korban. Dan yang menjadi pertanyaan gue belakangan ini, kenapa perlakuan Willis seolah memberi harapan?
"Kak, ada Kak Robin di depan nyariin kakak." tiba-tiba Aldo datang menginterupsi lamunan gue.
"Oke." balas gue sambil beranjak.
Sampai di ruang tamu, di sana Robin udah duduk anteng bareng sama mama. Tanpa membuang waktu lagi, gue pun segera bergabung bersama mereka.
"Ada apa bin?" tanya gue.
Mama sama Robin secara kompak menoleh ke arah gue, yang langsung di sambung dengan ucapan mama, "Eh ini udah ada Zea, kalian lanjutin aja buat besok."
"Iya ma." begitu mama udah masuk kamar, gue kembali menanyakan hal yang sama ke Robin, "Ada apa?"
"Ngga ada apa-apa." ..... "Udah selesai prepare?"
"Udah si, tinggal dikit doang."
"Oiya aku cuma mau ngasih ini buat kamu." Robin mengeluarkan paper bag dari sebelah sofa lalu menaruhnya di hadapan gue.
"Apa ini?"
"Buka aja." gue pun menuruti perkataannya. Dan ternyata di dalam paper bag tersebut ada sebuah box yang isinya wedges berwarna coklat tua.
"Gimana? Kamu suka?" tanyanya lagi.
"Ya ampun, Bin. Kok yang ngasih hadiah malah elo sih. Gue kan jadi ngga enak gini sama lo."
Robin terkekeh mendengar penuturan gue barusan, "Kamu bisa datang ke wisudaku aja aku udah seneng."
"Besok kamu pake ya." imbuh nya kemudian.
"Iya. Makasih loh ya." balas gue sambil tersenyum.
Don't forget to vote and comment guys......
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIENDSHIP GOALS? - SEHUN [END]
Fanfiction[END] Gimana jadinya kalo orang yang diam-diam kita sayang ternyata memiliki perasaan yang sama juga? Dan saat rasa itu saling terungkapkan, tapi takdir mengatakan hal yang lain.. Just a life story that is not always what it wants to be. Life that...