20. Pencari Masalah

25.3K 2.1K 67
                                    

20. Pencari Masalah

"Mas, kalau saya tidak boleh ke toko, saya boleh tidak pergi ke rumah sakit?"

"Menjenguk ibumu?"

Malaika menganggukkan kepalanya.

"Boleh. Nanti saya antar."

"Tidak perlu, Mas, saya bisa—"

"Saya juga mau pergi, dan kebetulan searah denganmu."

Kalau memang benar itu adanya, maka Malaika tidak keberatan. Ia hanya tidak mau merepotkan Ilyas.

"Jam satu nanti kita pergi. Sekarang habiskan dulu makanannya."

Malaika mengiyakan lagi perintah Ilyas. Tapi Malaika juga bertanya-tanya mengapa Ilyas tak membolehkannya untuk pergi ke toko.

"Mas."

"Hm?"

"Kenapa saya tidak boleh pergi ke toko?"

Ilyas yang duduk di sebelahnya seakan tidak mendengar pertanyaan itu. Ia masih fokus makan. Malaika memanggil lagi.

"Mas?"

"Saya dengar, Malaika. Saya hanya tidak ingin menjawab."

Malaika bersandar pada sofa. Sulit sekali berbicara pada Ilyas. Pria itu selalu ingin menang sendiri.

"Jangan banyak bicara! Habiskan makananmu!"

"Jam satu masih lama, Mas. Dzuhur saja belum."

Ilyas hanya diam, lalu menutup tempat makan yang isinya sudah habis.

"Mas, nanti saya shalat di mana? Ada mukena?"

"Kamu tidak bawa mukena?"

Malaika menggelengkan kepala yang entah sudah berapa kali dalam setengah hari.

Ilyas mengambil ponselnya dan menelfon seseorang. Malaika yang duduk di sebelahnya tentu dapat mendengar. "Bawakan mukena ke ruangan saya!"

Setelah mengatakan itu Ilyas memutus panggilannya dan meletakkan ponselnya di atas meja.

"Mas telfon siapa?"

"Sekretaris saya."

Malaika tidak bertanya lagi. Ia hendak menghabiskan makannya sebelum adzan berkumandang.

***

Malaika melipat mukenanya. Di dalam kantor Ilyas ternyata ada ruangan lain yang cukup luas. Kata Ilyas tempat ini biasa digunakan untuknya beristirahat saat lelah bekerja, karena memang terdapat tempat tidur yang berukuran sedang di tengah ruangannya. Jadi di sinilah Malaika shalat sendirian. Ya, Ilyas tidak mau diajak shalat. Saat Malaika berusaha menasehati, ia malah ditatap tajam oleh Ilyas.

Saat keluar dari ruangan itu, Malaika lihat Ilyas duduk di kursi kerjanya dan sedang membaca lembaran kertas yang ada di atas meja. Malaika tidak mengerti dengan pekerjaan Ilyas, yang ia tahu, pria itu selalu sibuk. Malaika tidak tahu harus melakukan apa di tempat ini, sedangkan waktu baru menunjukkan pukul setengah satu, dan masih ada setengah jam lagi untuk pergi.

"Mas, saya pergi duluan saja, yah?"

"Sebentar lagi saya selesai."

"Tapi saya tidak tahu harus melakukan apa di sini."

Ilyas mengangkat kepalanya untuk menatap Malaika. "Apa kamu tidak bisa duduk manis saja di sana?!" Ilyas menunjuk sofa yang ada di tengah ruangan tersebut. Ilyas rasa Malaika adalah jenis manusia yang tidak pernah bisa diam. Kalau tidak banyak kerja, yah banyak bicara.

The Perfect Wife For IlyasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang