Penjaga Mahakam - Eps. 37

149 9 1
                                    

Samarinda, Kalimantan Timur

5 Maret 2016


Kenan asyik membidik pemandangan alam Borneo di balik lensa kamera miliknya. Mereka sedang menunggu Peter mempersiapkan transportasi yang akan digunakan menuju Muara Kaman. Namun, ada satu pemandangan janggal yang ditemukan Kenan. Peter dan Suban, lelaki lokal yang disewa oleh tim Elizabeth itu berbicara dengan gelagat mencurigakan. Diam-diam Kenan membidiknya mengandalkan fitur zoom in. Beberapa kali jepretan dan Kenan menurunkan kameranya. Ia melihat kembali hasil foto-foto itu. Tampak Peter menerima sebuah tas dari tangan Suban yang terlihat begitu berat. Kenan jadi penasaran dengan isinya.

"Motret apaan sih?" tanya Al penasaran.

Laki-laki berkacamata itu menatap Al sedetik, lalu menggeleng cepat dan berlalu meninggalkannya.

"Orang aneh," gumam Al yang memang baru hari itu mengenal dan bertemu langsung dengan Kenan.

"Hei, Al, ayo buruan naik ke mobil!" panggil Dirga yang setengah berteriak dan melambaikan tangannya pada Al.

"Oke!" jawab Al yang bergegas ke arahnya.

Perjalanan mereka ternyata tak semulus yang dibayangkan. Jalurnya rusak parah dan berlumpur. Bahkan mobil mereka pun akhirnya terhenti karena tak mampu melanjutkan perjalanan. Sementara, Elizabeth khawatir waktu mereka tak tersisa banyak.

"Kau ada saran apa, Suban?" tanya Peter pada lelaki dengan kaus bergambar dua orang tokoh daerah setempat yang sepertinya pernah terlibat adu politik untuk jabatan kepala daerah.

"Tak ada jalan lain selain menempuh jalur air, melalui sungai Mahakam," jawab Suban terbata.

"Kau yakin bisa mendapatkan perahu secepat mungkin dari sini?" tanya Peter lagi.

Lelaki itu mengangguk.

"Baiklah, lakukan saja. Kami akan bayar berapa pun yang kau mau," kata Peter santai.

Elizabeth menanti Peter dengan was-was. Harusnya mereka sudah sampai di lokasi tujuan. Bukannya malah terdampar di antah berantah dengan jalanan penuh lumpur seperti ini. Hatinya semakin tak keruan. Ia mendadak bergidik ngeri.

Tak lama kemudian, Suban kembali. Ia mengisyaratkan pada Peter bahwa ia telah berhasil mendapatkan perahu untuk mengantar mereka, meski tarifnya agak lebih mahal dari tarif biasanya.

"Dasar orang Indonesia apa-apa uang!" umpat Peter kesal.

"Hei Mister, jaga bicaramu! Nggak semua orang Indonesia seperti itu!" ujar Kenan geram.

Peter melihat Kenan dengan tatapan jengkel dan pergi begitu saja menjauh.

"Dasar bule nggak tahu diri!" umpat Kenan kesal.

"Sudahlah, Ken." Dirga berusaha menenangkannya.

"Tersinggung aku dengan kalimatnya itu, Ga! Dia sudah kita bantu tapi kalimatnya menghina kita," cerca Kenan emosi.

"Ya aku tahu, tapi mungkin dia nggak sadar. Dia terlalu lelah," ucap Dirga.

Kenan masih melotot ke arah Peter hingga akhirnya Suban kembali dan mengajak mereka untuk segera menuju perahu kelotok.

Perjalanan mereka mulus kali ini. Kenan bahkan sudah terlihat kembali sumringah karena dimanjakan oleh alam di sekitar Mahakam yang memukau. Ia bahkan berhasil mengabadikan beberapa satwa melalui kameranya. Ada monyet ekor panjang, lutung, bekantan, burung elang bondol, elang brontok, pecuk ular asia, bangau, blekok sawah, simpur sungai, pekaka emas, pekaka sungai, hingga satwa langka pesut mahakam.

Dirga pun turut menatap pemandangan di kanan dan kirinya yang penuh dengan pepohonan rindang. Sungguh suatu pemandangan yang amat berbeda dengan Bali, kota di mana ia tinggal selama ini. Apalagi dengan Surabaya, kota asalnya yang merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Kutai kertanegara begitu asing baginya. Namun, itu tak menyurutkan semangatnya meskipun bergidik ketika perahu kelotok yang ia tumpangi menyusuri sungai di pedalaman Kalimantan yang terkenal menantang itu. Sungai yang mereka lalui tidak hanya mengalir lembut, tetapi juga memiliki riam yang lumayan menciutkan nyali.

MendadakDirga menangkap gurat cemas di wajah Al.



***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang