Bedawang Nala - Eps. 62

137 11 0
                                    

Samarinda, Kalimantan Timur

7 Maret 2016


Dirga berdiri di tepi dermaga sembari mengamati kedua orang temannya tengah menaikkan barang bawaan ke atas speedboat. Paul sudah terlebih dulu naik dan berdiri di dekat kemudi dan satu orang pengemudi. Sementara Jason, masih asyik berbicara dengan satu pria lainnya yang menurut Dirga adalah pemilik speedboat putih dengan garis berwarna biru di pinggirannya itu.

"Ga, kok bengong?" tanya Kenan, sesaat setelah dia selesai menaikkan barang terakhir.

"Apakah kita masih punya waktu, Ken?" gumam Dirga sambil menatap birunya laut yang nyaris sama dengan warna langit siang itu.

"Maksudmu?" kening Kenan berkerut. Satu tangannya bergerak dengan ujung telunjuk menaikkan posisi kacamatanya hingga pangkal hidungnya yang tertempel plester kecil berwarna putih. Seharusnya, Kenan beristirahat atas saran dokter yang merawatnya kemarin ketika Paul membawanya ke rumah sakit. Tetapi, Kenan berkeras ingin melanjutkan perjalanan bersama Dirga dan Al, serta menyelamatkan Kirana. Berbekal sekantung penuh obat, Kenan berhasil meyakinkan kedua temannya itu, bahwa ia akan baik-baik saja.

"Dua hari lagi gerhana matahari akan datang. Dan kita masih belum tahu apa yang terjadi pada Kirana," jawab Dirga sambil merogoh saku jeans-nya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam sana. Benda yang hampir setiap hari ia pandangi, menanti ada panggilan atau pesan masuk dari nomor Kirana.

"Aku yakin, Kirana baik-baik aja dan kita pasti bisa bertemu dengannya nanti," kata Kenan sambil menepuk bahu Dirga.

"Ayo, cepat naik! Kita harus segera berangkat. Matahari semakin terik," kata Jason yang ternyata sudah menyelesaikan urusannya. Pria berkacamata hitam itu segera naik ke atas speedboat, disusul oleh Dirga dan Kenan.

Perjalanan yang mereka tempuh menghabiskan waktu beberapa jam. Hari itu, ombak cukup tinggi sehingga membuat Al mual-mual.

"Makan ini agar kau tidak mabuk laut seperti itu." Paul menyodorkan wadah bulat bertuliskan Cavendish & Harvey Butterscotch Drops di bagian depannya.

"Apa ini?" Al mengambil satu butir yang berlumur bubuk putih seperti tepung aci.

"Permen," jawab Paul yang memasukkan sebutir ke dalam mulutnya sendiri.

Al melahap butiran permen itu dan seketika rasa mentega bercampur dengan gula merah menguar di segala penjuru lidahnya. Rasa yang semakin memicu produksi air liur dalam rongga mulutnya. Beberapa kali, Al mencecapnya. Seketika itu juga, rasa mualnya hilang berganti dengan bahagia karena ledakan rasa manis bercampur gurih. Ia tersenyum pada Paul sebagai bentuk terima kasihnya, hingga tatapan matanya tertuju pada sesuatu di balik sela ikat pinggang yang dikenakan pria itu. Ujung gagang pistol. Al terhenyak, bahkan hampir saja ia menelan bulat-bulat permennya itu saking terkejutnya. Entah apakah Paul ini lupa atau dia terlalu bodoh menyembunyikan senjata api di balik celananya seperti itu. Perlahan, Al bergerak menggeser tubuhnya merapat pada Dirga dan Kenan yang saling diam membisu di ujung belakang speedboat.

"Ngapain kamu miring-miring kayak kepiting?" tanya Kenan bingung melihat gelagat aneh Al.

Dirga juga menatap sahabatnya itu dengan pandangan bingung.

Seketika, niat Al berubah. Ia tidak ingin membuat Dirga jauh lebih tertekan lagi dengan fakta, bahwa dua orang yang akan menolong dan membantu mereka menyelamatkan Kirana itu ternyata memiliki senjata api.

"Uhm—" Al tertegun.

"Apa?" tanya Dirga.

Kepala Al menggeleng pelan. Ia akhirnya memilih untuk tetap bungkam, meskipun matanya tetap awas menatap Paul dan Jason.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang