Penjaga Mahakam - Eps. 42

133 12 0
                                    

"Ga, kamu nggak berpikir untuk nekat mengambil medali itu kan?" rengek Al.

Naga itu mulai bergerak perlahan, mendengus dan seperti sedang mencoba mencari sesuatu.

"Kita sudah sampai di sini, Al. Kita harus bisa mendapatkan medali itu," ujar Dirga yakin.

"Tapi, Ga, kamu nggak lupa dengan karma yang ditulis ayahku kan?" Al hampir menangis kala melihat naga itu semakin dekat dengan tempat persembunyian mereka.

"Aku yakin, karma itu hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki niat buruk. Untuk saat ini, niatku mengambil medali itu hanya untuk menukarkannya dengan nyawa Kirana yang mereka sandera," jelas Dirga yang segera menurunkan ransel dari punggungnya. Ia mengambil beberapa peralatan seperti, harness, decender, carabiner,chock and friend, serta tali karmantel statis.

"Ken, alihkan perhatian naga itu ya selama aku berusaha mengambil medali di atas sana!" pinta Dirga sambil mengenakan harness-nya, kemudian membuat beberapa simpul pada tali karmantel di tangannya.

"Lalu, a-aku gimana?" tanya Al sambil menunjuk dirinya sendiri dengan raut cemas.

"Kamu boleh bantu Kenan atau tetap di tempatmu sekarang, kalau nyalimu ternyata nggak sebesar yang aku duga," kata Dirga yang telah selesai mempersiapkan alat untuk memanjatnya.

"Ga, aku butuh saran!" desis Al yang mulai sadar bahwa keberadaannya pun dibutuhkan saat ini. Sebagai seorang Pramuka, harusnya ia tak kenal rasa takut. Seharusnya ia mampu mendukung teman-temannya, bahkan melindungi orang di sekitarnya.

"Bantu aku memanjat dengan jadi tumpuanku di bawah!" dengus Dirga kesal.

Tanpa banyak kata, Al melakukan apa yang diminta oleh Dirga. Begitu juga dengan Kenan.

Dengan tampang penuh kesombongan, Kenan keluar dari persembunyiannya tepat di hadapan naga yang tingginya diperkirakan Kenan lebih dari lima meter itu. "Apa jadinya ya kalau aku memotretmu dan menjual hasil fotonya ke e-bay?" gumam Kenan sambil menatap naga itu lekat dengan kepala setengah miring. Ia seolah sedang membayangkan pose apa yang cocok untuk makhluk raksasa berwarna putih seperti pualam itu.

Naga itu mendengus tepat ke arah Kenan. Namun, ia masih tak bergerak. Ia sepertinya sedang menyusun strategi untuk menangkap Kenan.

Tak ada yang tahu selain Kenan sendiri dan Tuhan tentunya, apa yang tengah ia rasakan saat itu. Debar jantungnya yang teramat keras, rasanya sanggup menembus dadanya yang naik turun mencoba mengatur napas, karena desiran adrenalin yang terus memompa. Seluruh otot tubuhnya mengejang sebagai peringatan adanya pertanda bahaya. Tangan Kenan yang hampir seluruh permukaan telapaknya basah itu, sejenak menggeser letak kacamata yang tergantung di tulang hidungnya yang tinggi. Mata di balik lensanya hampir tak berkedip memandangi naga yang hampir di seluruh tubuhnya penuh dengan sisik dan duri berwarna putih. Sayapnya terkembang, membentang memenuhi ruangan dengan duri lancip di setiap ujungnya. Makhluk itu benar-benar seputih pualam di istana kerajaan antah berantah. Seputih salju di musim dingin yang pernah dilihat Kenan dengan mata kepalanya sendiri tahun lalu, ketika ia hadir dalam sebuah pameran fotografi di Swiss. Kedua mata naga itu berwarna merah bagai darah, tepat di tengahnya ada sinar berwarna kekuningan. Warna yang sama ditunjukkan, ketika naga itu membuka mulutnya, menyeringai pada Kenan. Hampir seluruh isi mulutnya berwarna merah gelap, hanya giginya yang runcing dan menguning terlihat begitu kontras. Tak hanya gigi, kuku-kuku di setiap cakarnya pun memiliki warna yang sama. Ekornya panjang dan menggulung dengan duri mencuat di sana-sini.

Ekor mata Kenan melirik Al dan Dirga yang tengah bersiap untuk berlari ke arah dinding yang ada tepat di belakang Sang Naga. Dalam satu gerakan, Kenan mengangkat kameranya lalu memotret Naga itu menggunakan cahaya flash untuk menarik perhatiannya. Benar saja, naga itu tampak tidak suka dengan kilatan cahaya yang dilontarkan Kenan. Dalam waktu sepersekian detik, naga itu mendengus marah dan menyemburkan napas api dari lubang hidung serta mulutnya, tepat ke arah Kenan. Lelaki itu segera berbalik arah dan mencoba berlari menjauhkan makhluk itu dari lokasi yang dikehendaki oleh Dirga. Tepat di saat yang bersamaan, Dirga dan Al keluar dari persembunyiannya, berlari menuju dinding di mana medali tadi bersemayam.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang