Peluh & Darah - Eps. 57

138 11 0
                                    

Hampir pukul enam sore, akhirnya mereka tiba di Bajuri. Atas perintah dari Elizabeth, Peter pun mendirikan dua tenda di sana. Bajuri, merupakan lokasi terakhir yang dekat dengan sumber air sebelum mencapai Puncak Satu atau Puncak Manik. Jalur yang mereka lalui tadi, cenderung mudah karena masih landai dan lebar. Hanya masalah kebiasaan saja yang mempersulit keadaan. Batu-batu di sepanjang jalur pendakian pun sengaja ditata untuk memudahkan para pejalan. Total waktu yang mereka butuhkan untuk tiba di Bajuri, sejak dari pos pendakian pertama adalah satu setengah jam.

Kirana duduk di pinggir tenda, ketika akhirnya Peter selesai mendirikan tenda itu untuknya dan juga Elizabeth. Tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir wanita itu ketika masuk ke dalam tendanya. Kirana melepas tas ransel di punggungnya dan meletakkan benda itu tepat di sampingnya. Perutnya lapar dan haus. Satu botol air mineral yang tadi diberi oleh Elizabeth sudah lama habis, jauh sebelum mereka tiba di Bajuri. Tubuhnya sempat gemetar, tapi semua itu ia tahan sekuat mungkin.

Saat itu, hanya ada beberapa tenda yang berdiri di Bajuri. Suasananya tidak terlalu ramai. Mereka juga tidak terlalu menggubris kehadiran orang asing seperti Elizabeth, Klaus, dan Peter. Meskipun ada beberapa dari pendaki lain yang mencoba tersenyum ke arah Kirana, ketika mereka berpapasan di jalan tadi.

Peter sempat membuat minuman hangat dan mie instan. Elizabeth dan Klaus bergabung dengannya. Sementara Kirana memilih untuk diam di dalam tenda. Kesempatan itu ia pergunakan untuk mencari ponsel di dalam tasnya. Tapi usahanya sia-sia, karena Elizabeth sudah terlebih dulu membuang benda itu.

"Hei, kau makanlah! Aku tidak ingin melihatmu pingsan atau terkena hipotermia ketika kita naik nanti. Jangan merepotkan kami!" kata Elizabeth yang tiba-tiba muncul membawa satu cup mie instan dan segelas kopi.

Kirana hanya diam di tempatnya. Menoleh pun tidak. Elizabeth terpaksa meletakkan makanan itu di pinggir tenda. Berharap, Kirana akan memakannya nanti. Namun nyatanya, Kirana lebih memilih untuk salat di dalam tenda. Terpaksa, ia bertayamum karena sudah pasti, Elizabeth, Klaus, serta Peter tidak akan mengizinkannya pergi ke sumber air untuk berwudu. Selanjutnya, Kirana memilih untuk tidur.

"Jadi, apa rencanamu setelah ini?" tanya Klaus pada Elizabeth sambil menyesap kopi buatan Peter.

"Kita akan melanjutkan perjalanan beberapa jam lagi," jawab wanita itu dengan tatapan menerawang.

"Mengapa kita harus berjalan di gelapnya malam?" tanya Peter dengan jari-jarinya yang tengah memainkan sebatang rokok menyala. Asap tipis menari-nari di sekitarnya.

"Karena aku tidak ingin ada orang yang melihat kita nanti. Kita akan membutuhkan beberapa peralatan untuk bisa menemukan medali itu. Salah satunya geolistrik yang kau bawa tadi, Pete," jelas Elizabeth menggenggam gelas kopinya dengan kedua tangan.

"Dari mana kau tahu bahwa ini adalah lokasi yang tepat? Dan bagaimana cara kerja geolistrik yang kau bicarakan?" tanya Peter menghembuskan asap dari mulut dan hidungnya.

"Beberapa tahun lalu, aku sudah pernah menjalankan misi Karuhun ini bersama beberapa arkeolog dari Indonesia yang mendukung kelompok kita." Elizabeth menyesap kopinya. "Kami menemukan fakta, bahwa kitab Wangsakerta menyimpan sejuta informasi yang belum ditemukan oleh siapapun. Informasi berharga yang justru masih diragukan kebenarannya, padahal semua fakta itu memang benar adanya."

"Lalu, kalau memang informasi yang kau dapatkan itu benar, mengapa di Kalimantan kita tidak bisa menemukan medali yang kau maksud? Mengapa malah bocah-bocah ingusan itu yang menemukannya?" tanya Peter lagi. Sepertinya, itu adalah bagian dari pertanyaan yang ingin ia lontarkan selama ini.

"Aku yang salah. Sejak dulu, aku selalu bersikeras kalau medali itu ada di sebuah goa yang terletak di pedalaman hutan Muara Kaman, Kalimantan Timur. Tetapi, ada satu arkeolog yang menentangku. Menurutnya, dari beberapa fakta yang ia temukan di kitab tersebut, goa itu tidak terletak di dalam hutan. Posisinya ada di pinggir jalan yang cukup terjangkau. Aku tak pernah percaya padanya, karena untuk menyimpan medali berharga seperti itu, tidak mungkin pada tempat yang mudah terjangkau."

"Dan kau salah?" tandas Peter.

Rahang Elizabeth menegang. Ia benci diremehkan seperti itu. "Goa yang kami maksud adalah Lebaho Ulaq. Goa yang mungkin sekali memiliki pintu masuk lain di tengah hutan dan bocah-bocah ingusan itu berhasil menemukannya," jelas Elizabeth. "Aku yakin--"

"Apa?" tanya Klaus penasaran dengan kalimat Elizabeth yang terpotong.

"Akuyakin, bocah-bocah itu memiliki satu panduan yang akhirnya membuat merekaberhasil menemukan medali itu. Dan... sesungguhnya, aku seperti sedang melihatsatu orang yang tidak asing lagi di mataku," kata Elizabeth dengan nadamenggantung.



***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang