"Dirga, apakah kamu tahu mengapa saya memanggil kalian kemari?" tanya Pak Efendi.
Dengan satu gerakan, Dirga menggeleng. "Maaf, Pak. Saya kurang tahu,"
Pak Efendi menghembuskan napasnya perlahan tetapi dalam. Ia memutar tubuh, mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Mengutak-atik benda itu beberapa detik sebelum akhirnya menyodorkannya pada Dirga. Video yang bahkan belum satu jam diunggah Dirga menggunakan akun Instagram Al itu terpampang di hadapannya.
Seketika, jantung Dirga berdegup lebih kencang dari sebelumnya meskipun ia belum sadar kemana arah pembicaraan ini.
"Apa maksudmu merekam kejadian seperti ini, lalu mengunggahnya ke sosial media, Dirga? Apa kamu tidak sadar kalau kejadian itu termasuk tindakan bullying dalam area suatu instansi pendidikan yang tidak seharusnya terjadi?" tanya Pak Efendi dengan suara berat, penuh kekecewaan. "Apalagi kamu menggunakan akun Al lengkap dengan perangkatnya. Maksudmu apa?"
"Maaf, Pak, tapi sepertinya Bapak salah paham. Saya tidak pernah bermaksud untuk menjatuhkan nama universitas kita demi kepentingan apapun. Saya hanya--"
"Apapun alasannya, saya tidak bisa terima. Maaf Dirga, tapi perbuatanmu dengan mengunggah konten semacam ini dan membuatnya viral hanya dalam waktu beberapa menit, merupakan satu kesalahan fatal yang kamu buat. Apalagi, korban yang jelas terlihat di videomu itu adalah Ilham yang jelas-jelas berkebutuhan khusus. Tidak seharusnya kalian yang sudah waktunya memiliki pemikiran lebih dewasa dan bijak dalam bersikap melakukan hal bodoh seperti ini," omel Pak Efendi panjang kali lebar. "Entah apa masalah kalian, tapi ini benar-benar tidak seharusnya terjadi. Oleh karena itu, saya akan memberikan kalian detensi."
"Apa maksudnya detensi, Pak? Saya tidak melakukan apa-apa kok. Menyentuh si kutu buku ini saja tidak!" tiba-tiba salah seorang di hadapan Dirga berdiri dengan wajah merah padam.
"Kamu memang tidak menyentuh Ilham, tetapi mulutmu itu sudah melukainya dan itu merupakan salah satu tindakan bullying yang sama sekali tidak pernah saya harapkan ada di sini. Di universitas ini!" geram Pak Efendi mulai emosi.
Lelaki berkacamata di hadapan Dirga itu tampak kesal, tetapi ia bungkam.
"Saya tidak mau menerima alasan apapun terkait ini semua. Dan saya mau kalian menjalani detensi dengan konsisten dan komitmen atas apa yang telah kalian lakukan," terang Pak Efendi. "Saya ingin kalian semua bergabung dengan tim Pramuka universitas kita agar kalian mereka dasar-dasar hidup antara Tuhan, sesama manusia, dan juga alam sehingga perbuatan kalian tidak semena-mena seperti ini," lanjutnya.
Lelaki yang menentang Pak Efendi tadi mendengus kesal. "Jangan bermimpi siang bolong, Pak! Apa kata dunia bila saya yang tenar seperti ini masuk ke dalam tim orang bodoh kurang kerjaan memakai seragam konyol!"
"Silakan keluar dari ruangan ini jika kamu tidak berkenan untuk mengikuti arahan saya. Tapi, jangan harap kamu akan lulus di mata kuliah saya," suara Pak Efendi terdengar santai tetapi penuh penekanan dan penegasan, menandakan bahwa ia serius dengan kata-katanya.
"Bapak lupa siapa saya? Saya Akbar Fernando, Pak! Putra Pembantu Rektor III di universitas ini!" katanya penuh emosi dan dengan nada penuh kesombongan.
"Siapa pun kamu, saya tidak peduli. Saya hanya ingin universitas ini mendidik orang-orang agar tidak berkelakuan sampah seperti yang sudah kalian lakukan pada Ilham tadi," balas Pak Efendi yang sudah berjalan, berdiri tepat di hadapan Akbar.
"Baik. Kalau gitu, saya putuskan untuk tidak lulus mata kuliah sialan itu!" Akbar melotot geram.
"Silakan!" Pak Efendi malah tersenyum dan menggerakkan tangannya sebagai tanda pelepasannya pada Akbar yang bukannya senang, tapi malah kian emosi. "Siapa lagi yang ingin meninggalkan tempat ini? Silakan, saya tidak akan menghalangi." Pak Efendi tersenyum tanpa beban sedikit pun.
Tak disangka, ketiga mahasiswa labil itu keluar ruangan. Hanya tinggal Dirga, Al, dan juga Ilham di dalam sana.
"Semoga kamu tidak sepicik mereka, Dirga, Albert," kata Pak Efendi sesaat setelah menutup kembali pintunya yang sengaja dibiarkan terbuka oleh anak-anak tadi.
"Tidak, Pak. Meskipun saya juga tidak tahu bagaimana caranya membagi waktu lagi antara kesibukan skripsi saya dengan kegiatan wall climbing dan sekarang ditambah lagi dengan Pramuka," kata Dirga yang mencoba menahan kekesalannya. Ia merasa sedang dipermalukan oleh Pak Efendi dengan dipaksa bergabung pada komunitas aneh itu. Bagi Dirga, kegiatan Pramuka lebih pantas dilakukan anak SD hingga SMP saja, selebihnya tidak perlu karena memang tidak ada gunanya.
"Kamu pasti bisa." Pak Efendi malah menyemangatinya sebelum keluar ruangan sembari menepuk bahu Dirga.
Al menahan tawanya.
"Kenapa kamu, Al? ada yang mau ditanyakan?" tanya Pak Effendi dengan sorot mata tajam, seperti elang melihat tikus mencicit.
"Uhm maaf Pak, apakah saya juga termasuk yang mendapatkan detensi ini?" Al akhirnya berani membuka suara.
"Ya, jelas! Kamu membiarkan Dirga menggunakan ponsel pribadimu untuk merekam aksi mereka tadi."
"Tapi--" Al menatap pakaiannya sendiri saat itu.
Pak Effendi mau tak mau mengikuti gerakan mata Al. Ia tersadar akan sesuatu. "Ya, kamu sudah berada di club Pramuka juga kan. Anggap saja ini untuk memperkuat akal dan budi pekertimu. Lakukan apa yang sudah saya katakan atau kalian ingin bernasib sama seperti tiga orang tadi?" ancam Pak Efendi.
Al menelan ludahnya. Jelas, ia tak bisa membantah lagi. Dirga dan Al pun pamit pada Pak Efendi, bersamaan dengan Ilham yang melesat terlebih dahulu meninggalkan mereka dalam diam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Api Unggun Terakhir
FantasíaDirga, pemuda yang hobi wall climbing di kampusnya tiba-tiba harus terjebak dalam kegiatan Pramuka konyol. Namun, Pramuka justru mempertemukannya pada sosok gadis impiannya bernama Kirana. Tak ada yang menyangka, keduanya akan terlibat suatu eksped...