Kamboja Hitam - Eps. 36

162 10 0
                                    

Bandara I Gusti Ngurah Rai, Bali

5 Maret 2016


Elizabeth bangun dalam kondisi tidak baik-baik saja pagi ini. Selain karena kejadian aneh yang membuat meletusnya beberapa lampu di kamar hotel, juga karena mimpi buruknya semalam. Ia seperti dikejar oleh sesuatu yang ia pun tak dapat menggambarkannya secara gamblang. Dan pikiran itu berhasil menguasainya pagi ini.

Sama sekali tak ada gurat senyum di wajahnya. Ada semacam beban di hatinya dengan perjalanan yang sudah ia rencanakan ini. Ia sadar bahwa tak bisa lagi mengundurkan diri setelah panjangnya perjalanan yang telah ia lalui demi proyek dengan kode Karuhun ini. Ia pun tahu seberapa besar dana yang telah dikucurkan demi keberhasilan misi ini. Bukan hanya untuk menguak fakta sejarah, tapi ini lebih dari segalanya.

"Uhm Maaf, Miss Elizabeth. Apa Anda baik-baik saja?" tanya Kirana yang sedari tadi mengamati wanita itu dalam diam dengan tatapan kosong.

Elizabeth salah tingkah. Ia tersenyum. "Ya, aku baik-baik saja," jawabnya. "Panggil aku Liz," katanya.

Kirana mengangguk dan tersenyum, kemudian duduk tepat di samping Elizabeth. Sementara Dirga dan Al menghilang entah kemana, sedangkan Klaus dan Peter duduk tak jauh dari mereka.

"Aku dengar dari Dirga, bahwa kamu yang berhasil menerjemahkan aksara kuno itu ya?" tanya Elizabeth.

Kepala Kirana mengangguk pelan. "Apakah Anda meragukannya?"

"Oh, tidak. Tentu saja tidak. Aku percaya padamu, hanya saja kalau boleh tahu, dari mana kamu mempelajari aksara kuno itu? Karena sepertinya kemampuanmu jauh di atas mahasiswa arkeologi lainnya," selidik Elizabeth.

Kirana tersenyum. "Aksara itu sudah saya kenal sejak masih SD. Kakek saya sendiri yang mengajarkannya. Beliau berpendapat bahwa suatu hari, keahlian ini akan berguna untuk saya."

Kening Elizabeth mengernyit. "Kakekmu? Dia ada di Bali juga?"

"Tidak. Kakek ada di Banten. Beliau orang pribumi asli dan tak pernah mau meninggalkan tanah kelahirannya."

Elizabeth tersenyum simpul, tetapi pikirannya berkecamuk. Ia tak pernah lupa bahwa Banten, adalah tempat di mana artefak itu ditemukan dan tempat di mana pusat kerajaan Salakanagara berasal. Sepertinya aku benar-benar tak salah memilih Dirga dan juga teman-temannya. Aku yakin, gadis ini akan sangat banyak membantuku nantinya, batin Elizabeth.

"Hei, kalian kenapa bengong? Sudah saatnya kita boarding!" celetuk Dirga yang tiba-tiba saja muncul, membantu Kirana membawa tasnya.

Mereka pun bergegas menuju gate8. Satu persatu berjalan melewati lorong garbarata, hingga tiba di dalam pesawat.

"Aku bantu." Dirga meletakkan tas ransel Kirana di penyimpanan barang, tepat di atas kepalanya. Sementara gadis itu duduk tepat di sebelah jendela setelah mengucapkan terima kasih. Tangan Kirana mencari-cari ujung seat belt di sisi kanannya, hingga kemudian dia terhenyak ketika melihat sekuntum bunga kamboja hitam di tempat duduk kosong, tepat di sebelahnya itu.

"Na, kamu kenapa?" tanya Dirga bingung melihat gadis itu melongo.

"Bukan kamu kan yang duduk di sini?" tanyanya sambil menunjuk tempat duduk kosong itu.

Dirga mengambil boarding pass di saku belakang celananya. "Bukan. Aku duduk di belakangmu," jawabnya. "Kenapa?"

"Permisi Dirga, sepertinya itu tempat duduk saya." Elizabeth tergopoh-gopoh menghampiri mereka berdua dengan tas yang ia jinjing sedari tadi. Wajahnya masih pucat dan terlihat begitu lelah.

Kirana menatap Dirga lekat. "Uhm, Liz, apakah kamu yakin ini tempatmu?" tanyanya.

Wanita itu menatap Kirana bingung. "Memangnya ada apa?"

Tangan Kirana mengambil kuntum kamboja hitam itu dengan hati-hati. "Ini pertanda buruk," katanya.

Elizabeth syok tetapi ia berusaha tetap tenang. "Kamu terlalu banyak menonton film, ya!" ia terkekeh dan tetap duduk di kursi itu.

"Tidak. Aku tidak menonton film, tetapi memang kamboja hitam memiliki pertanda. Bunga ini adalah simbol untuk memuja Hyang Widhi yang dalam ajaran agama Hindu disebut Wisnu. Ia memiliki senjata Chakra yang memancarkan sinar berwarna hitam," jelas Kirana.

"Lalu, menurutmu ini adalah Chakra yang siap menerkamku begitu?" canda Elizabeth.

"Maaf, Liz, aku tidak bermaksud ..." Kirana sadar bahwa perkatannya itu tidak sopan.

"Sudahlah, lebih baik kita duduk manis dan menikmati perjalanan ini ya!" pintanya.

Kirana mengangguk dan hanya bisa menatap Elizabeth. Diam-diam, Kirana menyimpan kuntum bunga itu dan menyelipkannya ke dalam saku jaketnya. Dengan sejuta tanda tanya di benak dan degup kencang debar jantungnya.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang