Samarinda, Kalimantan Timur
6 Maret 2016
"Tidak, Peter! Aku bilang tidak, akan tetap tidak!" Elizabeth berang dengan mata melotot dan beberapa otot di wajahnya yang putih pucat itu menyembul di beberapa tempat. Beberapa benda berserakan di dekat kakinya. Benda-benda itu ia keluarkan dari dalam tas Al dan Kenan yang dirampas oleh Peter. Sejak tiba di hotel, satu-satunya fokus Elizabeth adalah kedua tas itu. Ia berusaha mencari sesuatu, tapi hasilnya nihil.
"Kau hanya buang-buang waktu, Liz!" Peter tak kalah garang. Rambut gondrongnya yang setengah ikal terurai dan jambang yang kian menebal, menambah kesan garang pria itu.
"Memang! Tapi ini satu-satunya jalan kita agar tidak terlalu mencolok!" jawab Elizabeth dengan dada naik turun, mencoba mengontrol emosinya. "Gunung Salak merupakan salah satu spot pendakian yang cukup populer. Banyak sekali orang di sana nantinya. Bisa kamu bayangkan, apa yang akan terjadi jika kita tiba-tiba muncul dengan helikopter?"
Kirana yang sedari tadi duduk di sudut ruangan kamar hotel itu hanya bisa terdiam sambil memeluk kedua lututnya sendiri. Matanya sembap dan wajahnya pun lesu, pucat. Yang ada di benaknya, hanyalah nasib ketiga temannya yang entah seperti apa saat itu. Air mata tak berhenti menetes di pipinya, ketika bayangan ketiganya tengah terikat di pohon kembali melintas.
"Lalu, menurutmu bagaimana cara kita agar bisa sampai di sana? gerhana matahari akan terjadi empat hari lagi. Sementara kita, masih di Kalimantan!" ujar Peter sambil meraih kaleng minuman sodanya yang tergeletak di meja.
Elizabeth menghempaskan tubuhnya di atas sofa, sambil menarik rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Wajahnya tampak begitu lelah. "Kita tidak akan mungkin bisa lolos dari bandara dengan membawa medali itu. Jadi--"
"Jadi kita tetap akan gunakan helikopter!" ucap Klaus yang baru saja masuk ke dalam ruangan, setelah tadi ia asyik menelepon di balkon.
"Apa maksudmu, Klaus? Kita tidak mungkin menggunakan helikopter! I've told you!" Elizabeth kembali berdiri dari duduknya dengan kening berkerut menatap Klaus tajam.
Pria itu menatap Elizabeth lekat sambil memegang kedua bahunya. "Iya, kita naik helikopter, tapi tidak untuk mengantar kita ke Gunung Salak."
Kepala Elizabeth setengah miring dengan satu alisnya terangkat bingung. "Maksudmu?"
"Aku sudah menghubungi salah satu rekanku di Jakarta. Dia akan membawa kita dari sini menuju Bogor dengan helikopter miliknya yang telah aku sewa. Sesampainya di Bogor, kita akan menempuh perjalanan normal menggunakan transportasi darat untuk ke Gunung Salak. Paham?" jelas Klaus.
"Kenapa kalian pusing dengan transportasi apa yang akan kita gunakan untuk ke Gunung Salak? Kenapa kalian tidak pusing memikirkan jenazah Suban yang tergeletak di hutan? Kenapa kalian tidak pusing memikirkan nasib teman-temanku yang kalian ikat di hutan?" gumam Kirana mengambil alih konsentrasi ketiganya.
Peter yang sedari tadi hanya berdiri bersandar dinding sembari menyesap minumannya itu pun berjalan mendekati Kirana. Wajahnya datar tanpa ekspresi.
Kirana bergidik, berusaha menyeret tubuhnya menjauh meski perlahan.
Jemari Peter yang kurus dan kasar mencengkeram rahang Kirana kuat hingga gadis itu tak mampu bergerak lagi. "Dengar ya, anak nakal! Bukan kami yang membunuh Suban atau pun teman-temanmu yang sok jagoan itu. Kami meninggalkan mereka hidup-hidup. Tapi, bisa saja sekarang mereka sedang meregang nyawa atau bahkan sudah tak bernyawa karena dimangsa hewan buas," desisnya.
Kepala Kirana menggeleng kuat-kuat, berusaha melepaskan tangan Peter dari wajahnya.
"Peter lepaskan dia! Ayo kita berkemas! Waktu kita tidak banyak," ujar Klaus tenang.
MataPeter masih tertuju pada wajah Kirana yang terlihat begitu lusuh. Rambutnyaacak-acakan dan lengket karena bekas keringat. Peter mengibaskan tangannyabegitu saja, menyebabkan wajah Kirana tersentak menghantam dinding.
Kilatan rasa nyeri di pipinya terasa begitu kuat, tetapi Kirana berusaha agar air matanya tidak menetes lagi. Dia harus mencari pertolongan. Menghentikan tiga orang asing tak tahu diri ini dan menyerahkan mereka kepada yang berwajib atas semua yang telah mereka perbuat. Namun, Kirana masih belum bisa menemukan jawaban bagaimana cara dia melakukan itu semua sendirian. Tanpa siapa pun.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Api Unggun Terakhir
FantasíaDirga, pemuda yang hobi wall climbing di kampusnya tiba-tiba harus terjebak dalam kegiatan Pramuka konyol. Namun, Pramuka justru mempertemukannya pada sosok gadis impiannya bernama Kirana. Tak ada yang menyangka, keduanya akan terlibat suatu eksped...