Penjaga Mahakam - Eps. 38

147 11 0
                                    

"Pernah denger cerita tentang banyaknya perahu kelotok yang gagal melewati riam dan karam di sungai pedalaman Kalimantan?" bisik Dirga yang berbuah sikutan di rusuk kirinya oleh Al. "Sial!" umpat Dirga kesakitan.

Perahu yang mereka tumpangi mengarungi air sungai kecokelatan tak beriak, tanda sungainya dalam dan sempat melewati dua perkampungan, tetapi selebihnya adalah hutan yang cukup lebat. Di sepanjang perjalanan itu, mereka juga bertemu dengan puluhan penambang emas tradisional.

Kirana spontan menarik lengan Dirga ketika tiba-tiba mesin perahu kelotok itu terbatuk-batuk dan kemudian mati. Meskipun tak lama kemudian, sang pemilik mampu menyalakan mesinnya kembali.

"Kamu nggak bisa berenang?" tanya Dirga.

"Bisa. Tapi nggak lucu banget kalau kita harus berenang di sungai pedalaman Kalimantan yang terkenal banyak buaya dan ular-nya." Kirana bergidik.

"Sepertinya Elizabeth benar, kamu terlalu banyak nonton film," ujar Dirga mengejeknya yang berbuah satu pukulan kesal dari Kirana, tepat di lengannya tadi.

Tak lama kemudian, perangai sungai mulai berubah. Air tampak beriak dan terdengar suara gemuruh. Batu-batu besar yang mencuat ke permukaan terlihat semakin banyak. Setelah beberapa kali mogok, perahu itu akhirnya berhenti di suatu riam yang bentuknya seperti sebuah pulau batu di tengah sungai. Batu-batu berderat dengan panjang sekitar 300 meter. Air mengalir deras melalui celah-celah batu di permukaan ataupun di dasar sungai. Tak butuh waktu lama, sang pemilik perahu itu akhirnya mempersilakan mereka naik kembali. Ia mengambil ancang-ancang, memutar perahu menjauh, lalu mengarahkan perahu lurus ke arah riam.

"Sepertinya kamu ketakutan," goda Kenan pada Al yang sedari tadi hanya terdiam sambil menggigiti bibirnya.

"Gimana nggak takut kalau kondisi perahunya gini! Sungainya ganas, mesin perahunya soak!" umpat Al setengah berbisik karena tak ingin si empunya mendengar kata-kata itu.

Kenan menahan tawanya.

Sebelum mulai memasuki riam, sang pemilik perahu mencelupkan sebelah kaki ke dalam air sungai.

"Dia lagi mengukur kedalaman sungai dan kekuatan arus airnya ya?" tanya Al yang lagi-lagi masih berbisik.

"Bukan. Itu semacam ritual untuk memohon keselamatan yang biasa dilakukan tukang perahu sebelum melewati riam," jelas Kenan tenang. "Sebaiknya kamu juga banyak berdoa, karena akan lebih sulit melewati riam ketika sungai surut. Biasanya, para pemilik perahu akan memutar menggunakan tali agar dapat melewati riam. Bagian belakang perahu yang lebih berat harus ada di depan. Nggak sedikit perahu karam di riam, bahkan penumpangnya tewas karena mesin yang tiba-tiba mati atau tali kemudi putus," ujar Kenan.

Al bungkam.

Sang pemilik perahu itu menekan gas penuh dan suara mesin pun menderu. Perahu berjalan zig-zag melewati celah batu yang sempit. Tangannya membanting kemudi perahu ke kanan dan ke kiri. Bagian depan perahu terangkat ke atas karena melawan arus air di riam. Cukup lama ia berjuang melewati riam, sementara Dirga dan yang lainnya duduk tegang. Hingga akhirnya, perahu itu lolos dari riam.

Mereka semua turun dari atas perahu ketika akhirnya tiba di Muara Kaman Ulu. Suban bertindak sebagai porter yang membantu menurunkan barang-barang mereka dari atas perahu. Ketika kaki mereka menginjak tanah, angin besar menerpa. Angin itu mampu membuat tubuh Elizabeth bergidik gemetar dengan ekspresi kaku. Matanya nyalang menatap ke dalam rimbunnya pepohonan yang gelap tak sanggup diterobos oleh teriknya sinar Matahari.

"Apa kalian merasakan suatu misteri di depan sana?" tanya Elizabeth tanpa melihat siapa saja yang ada di sisi kanan dan kirinya.

Peter menarik napas dalam-dalam. "Ya, aku mencium aroma daging rusa yang enak dan lezat!"

"Berhati-hatilah, Pete, karena kita belum mengenal wilayah hutan ini," ujar Klaus yang mencoba mengamati kondisi di sekitar mereka. "Sebentar lagi petang, akan sangat berbahaya bila kita meneruskan perjalanan ini. Ada baiknya jika kita berkemah di sini saja," saran Klaus dengan tatapan serius mencoba mencari sesuatu di antara rimbunnya pepohonan yang ia yakini sebagai sesuatu yang bergerak, meskipun ia tak bisa menggambarkan sosoknya. Klaus kembali memicingkan mata, ketika sosok itu bergerak cepat masuk ke dalam hutan, hilang dari pandangannya.

"Maaf Mister, tapi ijinkan saya pergi dari sini karena saya tidak bisa ikut menginap," pamit Suban.

"Kenapa?" tanya Peter?"

"Tempat ini terlalu berbahaya," jawab Suban dengan nada gemetar.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang