Kamboja Hitam - Eps. 34

161 11 0
                                    

Ruang Pramuka – Universitas Udayana, Bali

4 Maret 2016


"Ada dua puluh satu jenis tali temali di Pramuka dan kalian wajib menghafalnya satu persatu," ujar Kirana yang sedang sibuk menjalin tali di tangannya.

"Nggak kurang banyak?" Dirga mual mendengarnya. "Sepertinya aku hanya menguasai tiga dari dua puluh satu itu ... hahaha!" lelaki dengan rambut yang dicepol asal itu malah terbahak.

"Oh ya? Apa saja?" tanya Kirana yang akhirnya mengalihkan pandangannya dari tali di kedua tangannya itu.

"Simpul prusik, simpul tiang berganda, dan simpul tangga tali," jawabnya.

"Ya terang aja kamu bisa kan emang simpul itu berguna banget buat kamu panjat dinding atau tebing!" protes Al yang senyum-senyum sendiri, bangga karena berhasil menyelesaikan lima simpul yang diminta oleh Kirana tadi.

Dirga dan Kirana sontak tertawa.

"Selamat siang," sapa Pak Heru yang tiba-tiba saja sudah muncul di ambang pintu ruangan itu.

Mereka bertiga sempat terkejut, bahkan Dirga yang tadinya asik duduk di atas meja pun segera melompat turun.

"Eh, siang, Pak!" balasnya.

"Siang, Pak!" Kirana dan Al hampir bersamaan.

Pak Heru tersenyum simpul menatap mereka, kemudian berjalan memasuki ruangan. "Kalian sedang apa? Bersiap untuk ekspedisi kalian?" tanyanya.

"Iya, Pak sekaligus mencoba mempelajari beberapa ilmu Pramuka yang mungkin bisa dimanfaatkan ketika kami ada di luar sana," kata Dirga.

Tangan Pak Heru mengambil seutas tali putih khas milik anak Pramuka yang tergeletak di atas meja. "Bagus," katanya.

"Uhmm. Ada perlu apa ya, Pak?" Dirga tanpa basa-basi.

"Tidak ada apa-apa. Saya hanya ingin memastikan bahwa kalian sudah benar-benar siap sebelum akhirnya berangkat," Heru tersenyum. "Dan, saya punya ide untuk alasan kepergian kalian nanti," tambahnya.

"Apa itu, Pak?" tanya Dirga setelah saling tatap dengan Kirana dan Al.

"Saya ingin kalian pergi dengan alasan untuk pengembaraan jelang Raimuna tahun depan. Pergilah dengan nama Pramuka," katanya.

"Mengapa begitu, Pak?" tanya Kirana.

"Karena saya tidak ingin kepergian kalian menimbulkan tanda tanya. Pergilah dengan alasan yang cukup logis dan masuk akal. Kalian setuju kan?"

Mereka bertiga saling tatap lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Baik, Pak, jika memang itu permintaan Bapak. Tetapi saya sepertinya tidak punya seragam Pramuka." Dirga meringis.

"Tidak harus memakai seragam Pramuka untuk menjadi seorang Pramuka sejati. Cukup kuatkan jiwa dan fisik kalian sesuai dengan Tri Satya dan juga Dasa Dharma," kata Pak Heru sebelum melangkah keluar ruangan. "Semoga berhasil!" pesannya sebelum menghilang di balik pintu.

"Hmm... masuk akal sih!" ujar Al.

Dirga manggut-manggut. "Oh iya, Na, gimana izinmu?"

"Beres," jawab Kirana yang memang sudah mengantongi izin dari kakeknya. Meskipun berat, tetapi entah mengapa kakeknya itu setuju. Bahkan, kakeknya berpesan agar ia senantiasa menjaga hati dan diri. Menggunakan segala ilmu yang telah ia pelajari selama ini dari kakek dan juga sekolahnya.

"Sip!" ujar Dirga bersemangat. Ia beringsut ke tempat ranselnya tergeletak. Ada secarik kertas yang sudah ia siapkan sebagai daftar perlengkapan yang harus ia bawa nanti. Dengan cekatan, Dirga memeriksa kembali daftar barang bawaannya. Selain tenda, suvival kit berupa korek api, kompas-yang tetap dibawanya karena ia tak yakin jika GPS bisa digunakan tanpa sinyal, peta, kaca, plastik, pisau, obat-obatan, kabel, kawat, jarum, benang, peniti, peluit, alat tulis, kotak P3K, lilin, pembersih air, garam, senter, serta benang dan kail pancingan, Dirga juga membawa peralatan memanjatnya seperti harness, tali karmantel, carabiner, ascender, descender, figure 8, webbing, dan juga mailon rapid. Ia benar-benar ingin perjalanan kali ini membuahkan hasil. Bukan hanya sebagai penunjang skripsinya, tapi juga pemuas dahaga akan rasa penasaran terhadap harta peninggalan Aki Tirem di zaman Salakanagara.

Senyum Dirga merekah menatap daftar barang bawaannya itu. Level kegirangannya pun bertambah sekian persen hampir mendekati sempurna. Ini akan menjadi perjalanan paling istimewa dalam hidupnya. Dirga yakin itu. Padahal, sesuatu yang mengerikan sedang mengintainya. Sesuatu yang penuh bahaya berpadu dengan kekuatan mistis penuh balasan berupa karma.


***

[TAMAT] Api Unggun TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang