Hutan Muara Kaman, Kalimantan Timur
6 Maret 2016
Matahari telah bersinar begitu terik, ketika akhirnya Dirga berhasil melepaskan ikatan rafianya yang digosokkan pada batang pohon tempatnya disandarkan. Al dan Kenan belum sadarkan diri. Perlahan, ia melepaskan ikatan di tangan Al, dan memapah tubuh laki-laki itu untuk dibaringkan di tanah. Dirga beringsut melepas ikatan Kenan yang wajahnya bersimbah darah kering. Pinggiran hidungnya tampak lebam. Beruntung, ia sadar ketika Dirga akan memapahnya untuk berbaring tepat di samping Al.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Dirga.
Kepala Kenan menggeleng pelan. "Kepalaku berat," erangnya sambil memegangi kepala.
"Tunggu sebentar," kata Dirga yang sedikit berlari ke arah semak, tempat mereka mengendap dari Elizabeth beberapa jam lalu. Beruntung, tasnya tadi ia tinggalkan di sana setelah mengeluarkan medali. Jika tidak, mungkin tasnya itu akan bernasib sama dengan milik Al dan Kenan yang dirampas oleh Peter. Dirga membawa tas itu kembali ke tempat Kenan yang sedang terduduk lemas sambil memegangi hidungnya yang ternyata masih mengeluarkan darah meskipun sedikit. Dirga mengambil sehelai handuk kecil dari dalam tasnya, beserta satu botol air mineral. Handuk ia guyur dengan air dan ia berikan pada Kenan untuk mengompres sekaligus membersihkan hidung dan wajahnya. Dirga kembali membongkar isi tasnya, mencari kresek berisi obat-obatan yang ia bawa. Salah satunya minyak kayu putih yang ia gunakan untuk menyadarkan Al.
Tak butuh waktu lama, Al kembali siuman.
"Aow! Kepalaku," keluhnya yang mencoba untuk duduk.
Dirga setengah jongkok, tepat di hadapan kedua temannya itu. Lidahnya terlalu kelu untuk berkata apapun saat ini. Ia tak pernah menyangka, bahwa keputusannya untuk mengikuti Elizabeth ternyata berbuah mimpi buruk yang menjadi nyata.
"Kirana gimana, Ga?" tanya Al dengan suara parau.
Kepala Dirga menggeleng pelan dengan raut lesu, nyaris tanpa senyum.
"A-apa yang terjadi? Di mana tasku?" Al celingukan. "Ka-kamu kenapa, Ken?" tanyanya lagi setelah tersadar bahwa Kenan sedang berusaha membersihkan sisa darah dari wajahnya.
Dirga menghempaskan tubuhnya dengan satu lutut tegak sejajar dengan dadanya. Kepalanya menunduk, tanpa harapan apapun di benaknya.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ga?" tanya Kenan sambil mengerjapkan matanya.
"Mungkin akan lebih baik, jika kita segera keluar dari hutan ini. Mencari pertolongan untuk luka kalian," ujar Dirga lirih.
"Lalu, gimana dengan Kirana?" tanya Kenan lagi yang kali ini wajahnya telah benar-benar bersih dari darah, tetapi hidungnya tampak memar dan miring.
"Kita pikirkan nanti. Aku yakin, Elizabeth tidak akan membunuhnya, karena ia membutuhkan Kirana," ucap Dirga.
Suara burung-burung seantero hutan raya itu saling bersahutan, kala ketiganya diam tak berkata apapun.
"Ayo kita pergi dari sini!" ajak Dirga yang sudah menggantung ranselnya di bahu, kemudian membantu Kenan dan Al berdiri.
Perlahan, mereka melangkah menerobos rimbunnya belantara Borneo yang benar-benar nyaris membuat mereka tinggal nama dalam waktu satu hari.
"Kita jalan di dekat Mahakam aja. Siapa tahu ada perahu melintas dan kita bisa minta tolong untuk menumpang," ujar Kenan memberi ide.
Dirga mengangguk.
Beruntung, tak butuh waktu lama bagi mereka untuk mendapat keajaiban pagi itu. Persis seperti kata Kenan, mereka melihat satu perahu melintas. Perahu itu berisi satu warga lokal bersama dengan dua warga asing yang membuat Dirga ingin muntah ketika melihat wajah mereka.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
[TAMAT] Api Unggun Terakhir
FantasyDirga, pemuda yang hobi wall climbing di kampusnya tiba-tiba harus terjebak dalam kegiatan Pramuka konyol. Namun, Pramuka justru mempertemukannya pada sosok gadis impiannya bernama Kirana. Tak ada yang menyangka, keduanya akan terlibat suatu eksped...