29 - FLASH BACK (X) HIDAYAH

666 77 9
                                    

Sepanjang hari hatiku terus gelisah.

Aku baru tahu bahwa ternyata Kak Reyhan itu bukan tipikal cowok pencemburu. Sepertinya dia lebih dewasa dalam menyikapi segala hal. Entah itu imbas dari kehidupannya yang sulit atau memang sudah sejak awal dia seperti itu. Tapi yang pasti aku tidak akan bisa tenang sebelum aku bisa bicara langsung hanya berdua saja dengannya. Sepertinya terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya. Terutama tentang ketakutanku jika pada akhirnya aku dan dia memang harus berpisah.

Anggia baru saja pulang. Cukup lama aku dan Anggia mengobrol di kamar tadi. Membicarakan masalah aku dan Kak Reyhan.

Anggia bilang, "Alesan kenapa Kak Reyhan bilang lo itu temennya sama Kak Emir tadi, karena dia nggak mau masalah lo sama Bunda lo semakin rumit kalau ternyata Bunda lo tahu kalian pacaran. Kak Reyhan cuma nggak mau lo kena marah. Itu aja sih..." Anggia menggantung kalimatnya. Tatapan matanya menatap ke arah langit-langit kamarku. "Yang gue tangkep dari cerita Kak Reyhan tentang lo, dia serius sama lo. Lo itu beruntung bisa dicintai sama cowok kayak Kak Reyhan, Trin..." Kini pandangan Anggia beralih ke arahku. "Kak Reyhan itu gayanya doang selengean, sok playboy cap jempol, tapi hatinya baik, lembut, tulus..."

Dari kalimat demi kalimat yang Anggia ucapkan tentang Kak Reyhan, aku jadi merasa sepertinya Anggia yang lebih mengenal Kak Reyhan daripada aku. Entahlah...

Aku masih belum beranjak dari atas tempat tidur sampai terdengar pintu kamarku diketuk dari luar.

"Trina, kamu udah tidur?"

Aku buru-buru menarik selimut dan memejamkan mata. Tak sama sekali berniat untuk menjawab panggilan tersebut. Aku masih marah pada Bunda.

Aku tidak mau bicara sebelum Bunda mengembalikan sim card ku yang lama.

***

"Kamu masih marah sama Bunda?" tanya Bunda saat aku baru saja turun dari kamar dan menghampiri meja makan untuk sarapan.

Aku tidak menjawab. Bunda tersenyum tipis seraya memberikan sepiring nasi goreng lengkap dengan telur ceplok mata sapi dan kerupuk. Tak lupa Bunda juga menyediakan aku segelas susu putih sebagai menu sarapan pagi ini. Sebenarnya Bunda itu baik. Hanya saja kenapa dia begitu keras kepala jika sudah menyangkut hal pergaulan sosialku di luar. Atau mungkin ini adalah efek rasa sakit Bunda pada Ayah?

Yups, Bunda dan Ayah sudah bercerai, entah kapan persisnya aku pun tak tahu. Tapi yang jelas, sejak kecil aku tak pernah melihat apalagi bertemu dengan sosok Ayah kandungku.

Bahkan fotonya saja aku tak pernah tahu. Bagaimana wajahnya, seperti apa dia, aku benar-benar tidak tahu.

Sama sekali.

Aku hanya sekedar tahu bahwa Ayahku adalah seorang WNA keturunan Seoul. Dia bercerai dengan Bunda lalu kembali ke negeri asalnya di Korea Selatan.

Itulah sebabnya, aku memiliki kulit seputih kapas dengan bola mata agak sipit seperti layaknya warga-warga korea kebanyakan. Mungkin ini keturunan yang diwariskan dari Gen Ayahku.

Aku tahu apa yang Bunda alami dalam hidupnya selama ini tidak mudah. Ketika Bunda harus berjuang sendiri dalam keadaan hamil tanpa adanya dukungan dari siapapun terlebih keluarga. Bunda memang tidak pernah bercerita apapun mengenai siapa keluarganya, dimana mereka tinggal dan bagaimana latar belakang keluarga Bunda kepadaku. Karena yang aku tahu, Bunda selalu saja hidup dalam kesendirian selama ini. Berkutat dengan pekerjaannya sendiri.

Untungnya Bunda adalah seorang wanita yang cerdas hingga dalam keterpurukannya dia berhasil bangkit sampai akhirnya dia bisa mencapai kesuksesan seperti sekarang. Jujur aku bangga sekali padanya.

"Hari ini Bunda ada meeting keluar kota, kalau nanti selesainya lama, ada kemungkinan Bunda tidak pulang malam ini,"

Kalimat Bunda yang baru saja terdengar di telingaku seperti alunan musik syahdu yang begitu indah di telinga. Otakku seketika bekerja untuk memanfaatkan waktu yang ada tanpa Bunda hari ini.

Asiiikk!

Aku bisa janjian pergi bersama Kak Reyhan sampai malam. Pekikku girang dalam hati.

Aku menyembunyikan senyum tatkala Bunda melirik ke arahku saat kami sedang sarapan. Aku menunduk berusaha fokus pada sarapanku. Meski dalam hati aku sudah sangat tidak sabar untuk menghubungi Kak Reyhan detik ini juga.

"Ini Sim Cardmu yang baru, Trina. Sim card yang lama sudah Bunda buang. Dan ingat, jangan coba-coba membohongi Bunda lagi untuk tetap berhubungan dengan lelaki itu di belakang Bunda, sebab jika sampai Bunda mempergokimu sekali lagi, Bunda benar-benar tidak akan mentolerir apapun itu! Ganjarannya akan setimpal dengan apa yang telah kamu lakukan, mengerti?"

"Mengerti, Bunda..." jawabku lesu.

Meski dalam hati, aku sama sekali tak menggubris peringatan itu.

Intinya, hari ini aku akan bertemu dengan Kak Reyhan dan menghabiskan waktu seharian penuh bersamanya.

Titik!

*******

Aku membuat Janji untuk bertemu dengan Kak Reyhan di depan sebuah masjid di bilangan pondok Indah.

Dan lagi-lagi semua ini tak lepas dari bantuan sahabatku tercinta, Anggia. Sebab memang hanya Anggia yang aku miliki untuk sekedar dijadikan alasan untuk meminta izin pada Bunda.

Walau kini Bunda tidak ada di rumah, aku tetap meminta izin untuk pergi selepas pulang sekolah meski harus berbohong.

Kini aku duduk di depan halaman sebuah masjid di daerah Pondok Indah. Kondisi masjid saat itu terlihat sepi. Hanya ada beberapa Laki-laki tua yang duduk di pojok-pojok masjid sambil duduk bersila dengan mulut yang sedang komat-kamit.

Lalu, tak lama kemudian aku mendengar sebuah suara. Seperti orang yang sedang bernyanyi. Tapi bukan syair lagu yang dia ucapkan. Melainkan seperti sebuah kalimat berbahasa arab.

Rasa penasaran membuatku tanpa sadar melangkahkan kaki menuju arah suara. Di balik rindangnya pohon tempatku bernaung dari teriknya cahaya matahari, aku melihat seorang gadis kecil berhijab sedang duduk dengan sebuah buku tebal di pangkuannya. Dari posisi wajahnya yang tegak lurus memandang ke depan, gadis itu tidak terlihat seperti seseorang yang sedang membaca buku. Tapi mulutnya terus melafalkan bacaan dengan irama yang indah ditambah intonasi suara yang merdu.

Ketika aku bergerak lebih dekat, aku baru sadar ternyata buku tebal yang berada dipangkuan gadis itu adalah kitab suci umat Islam dalam bentuk, Al-Qur'an braille. Dan artinya gadis itu buta.

Jujur, saat itu pertama kalinya aku merasakan hatiku bergetar dan seluruh bulu kudukku merinding, menyaksikan betapa khidmatnya dia dalam membaca Al-kitabnya.

Aku pernah mendengar musik berirama syahdu yang hanya berlatar belakang gesekan senar biola, alunan musik yang pada awalnya aku rasa sangat indah. Tapi hari ini pendapat itu terpatahkan. Ternyata ada hal lain yang terdengar lebih indah bahkan tanpa adanya alunan musik sekalipun. Saat itu, aku benar-benar menikmati senandung indah dari bait demi bait lantunan ayat suci itu. Hatiku terasa tentram, damai, tenang. Seperti tak ada beban.

Sebuah perasaan baru yang entah darimana asal muasalnya.

Dimana untuk pertama kalinya, aku merasa tertarik dan begitu penasaran, pada Islam.

***

Hai guys, masih setia ikutin ceritakukan?

Ayo vote dan dikoment...

Salam Herofah.

CINTA DIBALIK CADAR (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang