30 - FLASH BACK (XI) DI TENGAH HUJAN

694 78 11
                                    

Hari ini Kak Reyhan mengajakku ngamen keliling Ibu Kota.

Meski harus melawan teriknya sinar matahari yang membakar kota Jakarta siang itu dan harus terpaksa kejar-kejaran dengan anak punk yang marah karena lapak ngamennya sudah diambil alih oleh Kak Reyhan. Bersama Kak Reyhan, aku seolah tak merasakan kesusahan apapun. Dan itulah ajaibnya cinta.

Tadi sewaktu ngamen, aku dan Kak Reyhan sempat melewati sebuah Masjid dimana di dalam Masjid itu sedang berlangsung sebuah acara ijab kabul pernikahan umat muslim.

Karena merasa penasaran, aku pun menarik lengan Kak Reyhan untuk ikut menyaksikan hal tersebut.

"Kamu mau ngapain sih? Aku kan udah shalat tadi, ngapain kita ke masjid lagi?" protes Kak Reyhan saat genggaman tanganku di lengannya semakin menguat. Aku terus menarik Kak Reyhan menuju Masjid yang terdapat janur kuning melengkung itu.

"Itu cuma orang nikahan, gitu aja diliatin," ucap Kak Reyhan lagi. "Aku laper nih, makan yuk?" ajaknya tak sabar.

"Ih, sebentar. Aku pengen liat sampai selesai dulu," ucapku dengan pelototan.

Suara si mempelai laki-laki mulai terdengar saat melafalkan kalimat Kabul.

Aku mendengarkannya dengan seksama. Suasana di sana begitu hening dan sunyi. Aku yakin, si mempelai laki-laki itu pasti sedang nerveous abis saat ini.

Jujur saja, ini pengalaman pertamaku melihat orang muslim menikah secara langsung. Biasanya aku hanya melihatnya di TV saat para selebrita kondang tanah air menikah. Selebihnya aku sering melihat pernikahan di gereja, bersama Bunda.

"Kak, aku boleh tanya sesuatu nggak?" tanyaku pada Kak Reyhan ketika kami sudah berjalan keluar dari masjid untuk membeli makanan.

"Tanya apa?" sahut Kak Reyhan sambil menatap wajahku.

"Aku suka deh tata cara pernikahan Umat Muslim, sakralnya itu berasa banget," celotehku dengan senyuman lebar. "Dan yang mau aku tanyain itu, gimana pandangan islam kalau terjadi pernikahan beda agama? Sah apa nggak?"

"Kenapa nanyanya begitu?" ucap Kak Reyhan seraya tersenyum jahil.

"Ih, jangan geer dulu! Akukan cuma tanya!"

"Ya jelas nggak sahlah! Kalau pun sampai kejadian, yang ada hubungan mereka itu tidak halal, alias haram, jatuhnya masuk ke dalam dosa Zina," terang Kak Reyhan menjelaskan.

"Zina? Apa itu Zina?" tanyaku dengan kening yang berkerut.

Kak Reyhan tertawa renyah. "Tanya gih sama Anggia, pasti dia tahu,"

"Orang aku mau tanyanya sama Kakak," protesku cemberut.

"Males ah jelasin kayak gituan sama anak kecil, takut nggak nyambung. Tuh wartegnya udah di depan, kita makan dulu baru nanti bahas begituan lagi, oke?"

Aku tak membalas perkataan itu dan hanya memasang wajah masam.

Lagi-lagi aku dibilang anak kecil! Huft!

Aku masih terus menatap ke arah Kak Reyhan yang sepertinya sangat kelelahan. Terbukti dari peluh-peluh yang menetes di dahi dan sekitar lehernya.

Siang ini cuaca begitu terik. Sedari tadi Kak Reyhan ngamen sendirian. Nyanyi sendirian, main gitar sendirian dan meminta saweran pun sendirian. Sementara aku hanya duduk manis di metromini melihat sang jagoanku beraksi.

Mendadak aku jadi kasihan padanya. Mungkin karena reflek aku langsung menyeka buliran keringat itu bahkan tanpa permisi.

Aku bisa merasakan tubuh Kak Reyhan bergetar ketika aku menyentuh lehernya. Dia meneguk ludah satu kali dengan tatapan yang tertuju lurus ke arahku. Tatapan yang sulit di artikan.

CINTA DIBALIK CADAR (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang