Hari-hari berjalan seperti biasa.
Semua kegiatan yang aku lakukan sama seperti sebelumnya.
Tapi ada satu hal yang berbeda.
Yakni kedekatanku dengan Reyhan yang semakin hari semakin terasa lebih akrab satu sama lain. Tepatnya sejak kami saling bertukar nomor ponsel.
Reyhan menepati janjinya untuk tidak menghubungiku duluan jika aku tidak menghubunginya lebih dulu. Semuanya berjalan lancar dan sempurna. Sesuai dengan harapan. Meski aku harus mensave nomor Reyhan dengan nama lain, yaitu Rheina.
Setiap dua hari sekali, Bunda selalu mengecek ponselku secara rutin sehabis kami selesai makan malam. Dan jika Bunda menemui ada nomor baru yang aku simpan di kontakku, dia pasti langsung menginterogasi aku detik itu juga.
Siapa pemilik nomor baru itu?
Ada hubungan apa antara aku dengan si pemilik nomor baru itu?
Dan jika Bunda tahu kalau itu adalah nomor seorang laki-laki, Bunda pasti akan langsung menceramahi diriku dan menghapus nomor itu dari kontakku.
Bahkan tak hanya sampai di situ, Bunda juga melarang aku menggunakan sosial media. Apapun itu yang berbau dunia maya, Bunda tidak mengizinkannya.
Hidupku benar-benar terisolasi. Seperti di dalam penjara. Terkekang dan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri terhadap dunia luar.
Jika ada yang bertanya apa aku bosan hidup seperti ini? Maka aku akan menjawab, bukan sekedar kata bosan yang aku rasakan, tapi lebih pada kata tersiksa.
Aku lelah dengan kehidupanku dan ketidakberdayaanku menghadapi sikap Bunda.
Aku lelah. Sangat lelah, bahkan.
Malam itu aku menangis terisak di telepon saat Reyhan meneleponku.
Dari suaranya, aku bisa merasakan bahwa dia sepertinya khawatir.
"Udahan dong nangisnya, aku jadi ikutan sedih nih. Coba aku ada di situ, pasti kamu udah aku peluk biar nggak nangis lagi," ucap Reyhan dengan guyonannya. Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat itu, yang justru terasa menghangatkan relung hatiku.
"Coba bersyukur Trina. Berpikir positif, masih banyak orang di luar sana yang kepingin punya Ibu. Kepingin di sayang sama Ibunya, di kasih perhatian, ya, nggak usah jauh-jauh deh, contohnya aku. Sejak kecil hidup di panti asuhan tanpa tahu siapa ke dua orang tuaku, semua itu nggak mudah. Aku selama ini berjuang hidup sendirian, menafkahi diriku sendiri. Sekolah, mencari uang, ngamen, jadi tukang parkir, kenek Bis, apa ajalah aku jabanin asal halal, intinya aku bisa makan dan masih bisa mengecap manisnya bangku sekolah. Sesulit apapun hidupku, aku nggak merasa kalau aku ini miskin, selagi aku punya Iman di dalam hatiku dan aku bisa berdoa di setiap sujud-sujudku sama Allah. Jadi, kalau sikap Bunda kamu seperti itu, coba kamu ambil sisi positifnya, itu tandanya, Bunda kamu itu sayang banget sama kamu. Bunda kamu nggak mau kamu salah pergaulan. Makanya dia membatasi ruang gerak kamu. Pergaulan di Jakarta jaman sekarang itu keras, Trina. Kalo nggak kuat-kuat Iman, ujung-ujungnya cuma bisa merugikan diri sendiri,"
Aku tertegun mendengar deretan kalimat panjang yang baru saja dilontarkan oleh seorang Reyhan.
Jujur, ini pertama kalinya seorang Reyhan bicara seserius ini denganku. Sebelumnya dia itu bahkan lebih sering menggombaliku, mengajakku bergurau, meledekku atau mengajakku bermain tebak-tebakkan ala anak SD.
Dan yang membuatku lebih tak percaya, Reyhan yang baru saja mengungkapkan apa isi hatinya selama ini. Tentang kehidupannya. Masa lalunya.
Aku tersentuh mendengarnya. Ada sejumput perasaan bersalah dalam benakku, bahwa selama ini aku lebih sering mengeluh ketimbang bersyukur. Aku lebih sering berpikiran negatif ketimbang berpikir positif. Dan parahnya, bukan hanya pada orang lain aku kerap berprasangka buruk, tapi terhadap diriku sendiri pun aku sering seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DIBALIK CADAR (End)
RomansaFollow dulu sebelum membaca... Kategory : Romance Dewasa.18+ Yang paling suka dengan kisah romantis yang bikin baper mari merapat... Katrina harus menelan pil pahit kehidupan saat sang Bunda membawanya pindah ke Surabaya demi memisahkan dirinya deng...