18. Berangkat Sekolah

11.5K 472 57
                                    

**

Bagian 18 Berangkat Sekolah

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia.

- Ali bin Abi Thalib-

02.45

Nada menggeliat dalam tidurnya. Matanya terbuka. Saat melihat jam dinding, ternyata sudah dini hari. Nada bangkit dari tidurnya. Merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Badannya terasa sakit karena tidur di sofa. Nada melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu. Nada akan salat Tahajud. Nada ingin mengadu kepada Rabb-nya. Nada tahu, dia tidak boleh mengeluh, tetapi untuk malam ini saja dia ingin mengeluh kepada Allah azza wa jalla.

Apakah keputusannya sudah tepat dengan menerima perjodohan ini? Sebenarnya Nada masih ragu dengan Candra. Nada tahu, Candra jauh dari kata baik, Candra bukan seseorang yang Nada harapkan. Mungkin inilah sakitnya seperti yang Allah rasakan saat Nada lebih mengharapkan ciptaan-Nya ketimbang Pencipta-nya. Dulu Nada pernah berharap kepada Raka. Dan sekarang, harapannya sudah musnah.

Usai salat Tahajud, Nada tidak tidur lagi, melainkan membaca Al-Qur'an. Lantunan syahdu itu terdengar hingga mengusik tidur Candra. Candra mengejapkan matanya, berusaha mendengar dari mana suara itu berasal. Candra bangkit menjadi duduk. Dia melihat Nada yang sedang duduk di atas sajadah sembari membaca Kitabullah Al-Qur'an. Saat melihat jam dinding, Candra terbelakak. Ternyata baru setengah empat pagi. Hatinya tergerak juga untuk melaksanakan salat Tahajud, tetapi, egonya mengalahkan nalurinya. Hingga pukul empat, Candra masih betah menatap Nada. Nada masih belum menyadari jika Candra sudah bangun sejak tadi dan memperhatikannya.

Candra bangkit dari tempat tidur, lantas menuju kamar mandi untuk wudu. Setelah keluar dari kamar mandi, Candra mengenakan sarung, baju koko, serta peci hitamnya. Candra berniat pergi ke masjid. Tanpa bicara apapun, Candra meninggalkan kamar dan Nada tentunya. Nada sempat terpana melihat Candra. Sungguh, suaminya itu memang tampan. Nada menyunggingkan senyumnya. Melupakan jika tadi malam, mereka berdua sempat bersitegang.
Saat akan menuju pintu utama, Candra dikagetkan oleh Hendra yang juga akan pergi ke masjid.

"Kamu mau ke mana?" tanya Hendra mengernyit bingung. Pasalnya baru kali ini Hendra melihat Candra sudah bangun pagi-pagi sekali.

"Mau ke masjid, Pa. Candra udah ganteng begini pake kopiah sama sarung, masa Papa enggak tahu Candra mau ke mana," katanya berbangga diri disertai dengkusan.

"Wiih, hebat ya, Nada. Baru semalam kalian menikah, dia udah buat kamu mau bangun pagi, pergi ke masjid lagi." Hendra tersenyum lebar membanggakan Nada. Sedangkan Candra hanya memutar bola matanya malas.

"Candra pergi ke masjid bukan karena Nada, Pa. Tapi murni niat Candra sendiri," ujarnya Malas. Sembari langkah anak dan bapak itu beriringan keluar rumah.

"Halah, selama ini juga kamu mana mau bangun pagi buat salat Subuh, wong salat saja masih bolong-bolong, kan?" Candra kembali memutar bola matanya malas. Hendra ini memang aneh. Terkadang sikapnya cuek minta ampun. Tapi di lain sisi, beliau bisa cerewet seperti sekarang ini.

"Terserah Papa, deh." Hendra hanya tertawa melihat anaknya yang kesal.

"Eh, tapi benar deh. Papa seneng banget kamu menikah sama Nada. Dia sholehah, dia penurut, juga baik hati dan tidak sombong. Tadi aja, Papa dengar suara perempuan ngaji, enggak tahunya dari kamar kamu. Ya udah bisa ditebak lah, pasti itu Nada. Karena mana mungkin itu suara kamu."

"Terserah Papa." Hendra terkekeh melihat respon anaknya itu.

Tak terasa, mereka sudah sampai di masjid. Candra melihat Baiq yang baru saja datang. Baiq tersenyum, Candra juga membalas senyumannya. Usai salat, Candra menghampiri Ustadz Fakih, dan menyalaminya.

AKAD [Candrasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang