20. Pindah

10.4K 468 45
                                    

Bagian 20 Pindah

“Nada, ayo!”

Nada dan Sekar bergegas menuju masjid karena sudah waktunya salat zuhur.

“Nada, kok hari sabtu kamu enggak berangkat mentoring? Kenapa?” tanya Sekar saat mereka dalam perjalanan menuju masjid. Nada diam. Hari sabtu libur dan hari itu Candra beserta keluarganya datang ke rumah Nada untuk meminta pernikahan dipercepat. Alhasil pada hari minggu kemarin Nada dan Candra menggelar akad.

“Kemarin, aku ke Bandung.” Dengan sangat terpaksa, Nada harus berbohong. Dan Nada benci pada dirinya sendiri, saat dia harus kembali menimbun dosa.

“Ngapain?” 

“Tengok Kakek.” Sekar mengernyit mendengar jawaban Nada yang tidak sesuai fakta itu.

“Bukannya Kakek kamu udah enggak ada?” tanyanya menyelidik. Matanya meyipit melihat Nada yang terdiam. Nada salah bicara!

“Ke makam Kakek maksudnya. Sama sekalian ke rumah saudara,” jawab nada berbohong. Nada sungguh telah berdosa karena berbohong. Nada berharap, semoga ini terakhir kalinya dia berbohong. Tetapi, yang namanya kebohongan––satu kebenaran ditutupi oleh kebohongan, akan ada kebohongan-kebohongan lain yang menutupi kebohongan awal. Nyaris dalam semua sendi-sendi kehidupa, efek domino pasti berlaku.

Saat sampai di masjid, Sekar dan Nada langsung pergi menuju tempat wudu perempuan. Usai wudu, mereka harus mengantre karena mukena terbatas sedangkan yang melaksanakan salat banyak. Mereka duduk menunggu di luar masjid.

Entah mengapa, pikirannya masih tertuju kepada satu nama. Bukan Candra, melainkan nama pemuda yang saat ini tengah berjalan melintas bersama teman-temannya dengan sesekali bergurau hingga dia tersenyum, bahkan tertawa. Dan tawa itulah yang mampu membuat hatinya bergemuruh serta pipinya merona. Bahkan hingga saat ini rasa itu masih ada, meskipun sekuat batin dia menghilangkannya. Dialah Raka At-Thariq Putra.

Nada menatap Raka, seketika langsung menunduk saat tanpa sengaja cowok itu menatap ke arahnya, meski hanya sekilas. Kedua pasang mata itu sempat saling mengunci beberapa detik. Dan itu mampu menggetarkan hatinya, mampu membuat hatinya porak-poranda. Nada kembali beristighfar. Nada harus ingat, jika saat ini ia sudah menikah. Seharusnya Nada mampu menghilangkan perasaannya terhadap Raka, meskipun itu sulit.

Nada melihat jam digital yang tertempel di tembok masjid. Belum waktunya azan, karena waktu zuhur kurang enam menit lagi. Nada masih menunduk dan menggumamkan zikir. Kepalanya tak sengaja mendongak, dan dari kejauhan, dia melihat Candra yang berjalan ke arah masjid. Cowok itu sendirian, tidak bersama teman-temannya yang biasanya selalu bersama. Nada masih memperhatikan Candra. Cowok itu tidak sadar jika sedari tadi diperhatikan olehnya. Bibir gadis itu membentuk sebuah lengkung, hingga kedua sudut bibirnya terangkat, tatkala Candra berjalan memasuki masjid.

Candra salat. Semoga, ini merupakan perubahan yang membawa Candra pada kebaikan ke depannya.

Tak lama terdengar suara azan yang ditunggu-tunggu oleh Nada. Suara yang selalu syahdu. Lantunan syahdu itu mampu menggetarkan hatinya berkali-kali. Nada tahu ini salah, tetapi Nada mengagumi suara Raka begitu pula orangnya.

***

Candra datang ke sekolah sekitar pukul lima sore, saat suasana sekolah sudah sepi. Cowok itu baru saja berkumpul sekadar nongkrong bersama Anjaya di tempat tongkrongan baru mereka. Pindah dari Kafe Cempaka yang merupakan kafe keluarganya, ke warung biasa. Candra kembali ke sekolah untuk menjemput Nada yang menunggunya, karena gadis itu baru saja selesai kajian bersama Pak Gamal––guru PAI kelas 12 yang memimpin kajian setiap seminggu sekali, dan itu dilakukan setiap hari senin bersama anak-anak lain yang berminat.

AKAD [Candrasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang