Candra menghentikan sepeda motornya. Netra laki-laki itu mengedarkan pandangan ke penjuru parkiran. Hanya baru ada beberapa motor dan sepeda yang berjejer di sana. Parkiran masih sepi karena masih terlalu pagi. Mata elangnya menyipit tatkala dari kejauhan melihat Alena yang berjalan sendirian. Candra pikir, ada yang gadis itu sembunyikan selama ini. Dan ada perubahan yang belum Candra ketahui alasannya. Dan seharusnya dia tidak peduli, kan?
“Alena!” panggilnya, sambil berjalan menghampiri cewek itu. Alena tersenyum, dan Candra dengan senang hati membalasnya.
“Kok jalan kaki? Lo berangkat naik apa?” tanya Candra.
“Naik angkot,” jawabnya sambil tersenyum. Tidak malu untuk mengakuinya jika tadi dia berangkat dengan angkot.
“Motor bebek lo mana?” seingat Candra, dulu saat mereka belum putus, Alena selalu berangkat dengan motor bebek kesayangan gadis itu.
“Udah dijual.”
“Kok bisa? Bukannya itu motor kesayangan lo?” tanya Candra mengernyit bingung. Lantas matanya kembali menyipit saat tak sengaja melihat pergelangan tangan cewek itu merah lebam bahkan sudah berwarna keunguan.
“Terus ini kenapa, Alena?” tanya Candra sedikit berlebihan, memegang pergelangan gadis itu. Entahlah, melihat Alena yang sedikit berubah, Candra pikir gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
Alena langsung melepaskan tangannya dari Candra dan menyembunyikannya dalam saku pada jaket pinknya.
“Enggak apa, tadi cuma kesenggol panci penggorengan yang masih panas aja waktu masak.” Lagi, Candra kembali dilanda kebingungan. Oke, mungkin memang benar jika Alena sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Sebab yang Candra tahu, Alena tidak pernah mau memasak, karena cewek itu sendiri yang bilang kalau Alena tidak pandai memasak. Dan Alena tidak berani menyalakan kompor karena takut meledak.
Candra ingin bertanya lebih, tetapi ia urungkan niatnya. Alena tersenyum sembari terkekeh.
“Kok malah ketawa?” tanya Candra.
“Aku senang, kamu masih peduli sama aku. Kamu juga belum lupa sama apa yang bukan kebiasaan aku. Kamu masih ingat tentang aku?” tanya gadis itu gembira. Kini tangan Alena menggenggam tangan Candra. Sedangkan pikiran Candra sempat berkecamuk. Sepertinya Alena salah berspekulasi terhadap sikap Candra. Lantas, Candra melepaskan genggaman tangan Alena dari tangannya dengan pelan, takut gadis itu tersinggung.
“Em, kayaknya lo salah persepsi sama tindak-tanduk gue. Sorry, bukan maksud gue kepo atau apa pun sama lo. Dan bukan maksud gue––” menyadari apa yang akan Candra ungkapkan, Alena langsung memotong perkataan cowok itu.
“Okey, maaf, Candra. Mungkin aku yang terlalu baper. Aku tahu semuanya udah enggak kayak dulu lagi. Maaf sekali lagi," ucap Alena disertai senyuman pilu gadis itu. Lantas, Alena pergi meninggalkan Candra di sana sendirian. Candra akan memanggil Alena, tetapi ia urungkan niatnya.
Perempuan memang selalu begitu. Terlalu mudah terbuai oleh perlakuan manis seorang lelaki. Padahal sang laki-laki sendiri tidak hanya bersikap manis kepada satu gadis, melainkan semua gadis. Toh memang seharusnya laki-laki tidak boleh kasar dengan perempuan. Dan kebanyakan perempuan salah tangkap terhadap sikap lembut lelaki.
Candra juga berniat pergi ke kantin, untuk sekedar nongkrong. Tetapi, saat tubuhnya berbalik, matanya menangkap sosok gadis dengan kerudung besarnya tengah memandang Candra dengan diam.
“Shit!” umpatnya pelan. Pasti Nada melihat Candra dan Alena tadi. Dan lagi, mereka sempat berpegangan tangan, meskipun itu tidak dalam rencananya, tapi tetap saja Candra merasa bersalah. Candra langsung menghampiri Nada yang masih setia berdiri di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKAD [Candrasa]
SpiritualSudah lengkap di Karyakarsa "Menikah muda untuk ibadah. Untuk menyempurnakan separuh agama. Bukan sekedar bermain cinta remaja." [Nonada Ambarawa] ®15+ [Banyak banget bahasa kasar, ambil positifnya saja, yang negatif jangan diambil] WARNING! Sudah b...