22. Belanja

10.3K 468 61
                                    

Bagian 22 Belanja

Setelah bel pulang sekolah berbunyi, Candra langsung pergi menaiki motor CB miliknya menuju rumah barunya bersama Nada. Sedangkan Nada sudah pulang terlebih dahulu menggunakan angkutan umum. Itu Nada sendiri yang memintanya. Dan tidak ada alasan untuk Candra menolak permintaan Nada tersebut.

“Eh, Can? Buru-buru amat?” tanya Teri saat mereka masih ada di parkiran.

“Iya, enggak mau nongkrong dulu gitu, ke mal,” celetuk Petra.

“Nongkrong kok di mal. Nongkrong tuh di kloset,” kata Danur menyenggol Petra.

“Iya di kloset, kalau klosetnya, bukan kloset duduk,” jawab Petra sebal.

“Eh tapi, lo beneran mau langsung pulang gitu, Can?” tanya Danur mengabaikan ucapan Petra barusan.

“Iya, gue ada urusan mendadak. Sorry. Lagian hari ini anak-anak Anjaya enggak ngumpul,” kata cowok itu sembari memasang helm pada kepalanya.

“Lo kok sering banget ada urusan mendadak? Emangnya ada urusan apa si? Ini lagi bawa helm dua segala?” tanya Teri, menunjuk helm di atas motor Candra. Cowok itu sebenarnya ingin mengajak Candra ke sirkuit. Teri ingin latihan balap motorcross. Ya, hanya sekadar coba-coba, siapa tahu bisa jadi pembalap.

“Ada deh. Besok-besok juga lo pada tahu. Eh, gue duluan!” Candra melambaikan satu tangannya, kemudian menarik pedal gas motornya hingga menimbulkan suara deruman klasik pada knalpot motor antik itu.

“Anjir, gue penasaran Candra sibuk ngapain si?” ucap Petra dengan gemas.

“Udahlah, nanti juga kalo udah waktunya Candra bilang ke kita,” jawab Jen kelewat santai. Sebenarnya, Jen masih sebal kepada Candra tentang masalah tadi pagi. Tetapi, tidak ada alasan cowok itu untuk marah. Karena memang untuk mendekati Alena itu hak Candra. Dan bukan hak Jen untuk marah kepada Candra. Jen hanya bisa berharap, semoga kelak, Alena menerima cintanya. Entah cinta seperti apa yang Jen maksud.

“Jadi ke mal enggak nih?” tanya Danur. 

Petra mendengkus, “Tadi aja ngatain gue nongkrong di mal, belagu amat lu.”

“Ya kan tadi lo yang bilang, ogeb!”

“Anjir! Lo kok ngatain gue bego, sih?!” ucap Petra dengan sungut-sungut.

“Siapa yang bilang coba? Lo bilang sendiri, tadi.”

“Eh jelas-jelas tadi lo bilang ogeb. Ogeb itu artinya bego, kan?!”

“Itu sih spekulasi lo aja kali,” jawab Danur dengan santai. Teri menatap mereka berdua dengan jengah, dan Jen hanya tertawa sumbang melihat perdebatan mereka. Sedangkan Malik hanya menatap keduanya datar.

“Eh, kanibal, kalo lo enggak mau kalah dari Candra, lo cepetan deh pepet si Nada,” celetuk Petra tiba-tiba. Malik hanya menatap cowok itu tanpa ekspresi. Petra mendekat ke arah Malik, lantas mencubit lengan Malik dengan keras.

“Anj*ng!” umpat Malik mengaduh kesakitan.

“Nah, baru ngomong, sekalinya ngomong eh, sodaranya Jen yang dipanggil,” kata Petra dengan kekehan kecilnya.

“Lo ngatain gue?!” Jen protes mendengar penuturan Petra barusan.

“Enggak, Bang ....” Petra hanya nyengir sambil menunjukkan jari tengah dan jari telunjuknya membentuk huruf V.

“Lagian ngapain nyubit si Batak itu? Kurang kerjaan banget,” celetuk Danur. Petra yang selalu banyak bicara dan asal ceplos, membuat mereka terkadang geram sendiri.

“Biar Zayn Malik kita punya ekspresi. Biar hidupnya enggak datar-datar terus,” jawab Petra asal, lantas pergi meninggalkan mereka menuju mobilnya dengan Teri. Sebenarnya Petra mempunyai kendaraan sendiri, akan tetapi, dia lebih suka nebeng saudara kembar tak identiknya itu.

AKAD [Candrasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang