Ada alasan di balik penciptaan gunung yang menjulang tinggi di sandingkan dengan lembah yang terjal dan curam.
Begitu pula dengan daratan yang dibatasi lautan, dan gelap yang datang bergantian dengan petang.
Sesungguhnya Tuhan yang Kuasa telah mengajari kita untuk menerima berbagai perbedaan dalam hidup ini.
Yang berbeda bukan berarti tidak bisa bersama , kita hanya perlu adil untuk melihat perbedaannya.
Tik tik tik. Tetesan air hujan mengguyur , menetes tepat di atas lembaran daun tanaman berbentuk oval yang bertengger di dalam pot di luar jendela cafe. Semerbak bau aroma terapi kayu manis yang jadi signature, mendadak kalah dengan bau tanah basah yang di guyur hujan setelah kering kerontang.
Bau mirip arang yang baru mati atau mirip akar jahe memenuhi seisi ruangan yang berbentuk persegi panjang dengan kotak -kotak keramik berwarna putih bersih mirip kediaman para petinggi imperialis belanda pada masa lampau. Sementara dindingnya di cat coklat tua berisi berbagai macam ukuran figura bergambar sketsa hitam putih, di sekeliling ruangan terdapat meja kayu persegi dan empat buah kursi kayu warna senada yang mendominasi hampir seisi ruangan.
Secangkir kopi hangat dan beberapa kue peanut butter tersaji di meja seorang pria berambut ikal yang sedikit kepanjangan di selipkannya di selah kuping. Beberapa lembar rambutnya yang lain terurai di dahi hingga hampir mencapai belahan alis mata yang tebal sepadan dengan matanya yang juga tegas lurus tanpa ekspresi. Sementara kedua bola matanya yang bergulir dari kanan ke kiri mengikuti arah bacaan buku tebal yang setengah tergeletak di meja bertumpu kedua tangan , sesekali ia mencelupkan telunjuknya ke mulut sebelum membuka halaman demi halaman buku.
"Din, serius amat merhatiin cowok?" Alex menepuk pundakku dari belakang. "Tipe ya?"
Ia menyeringai bak manusia biawak , memperlihatkan deretan gigi berkawat.
"Apaan sih?"
Aku masih memandang satu satunya pengunjung cafe hari ini yang masih berdiam dalam dunia yang di bangunnya diantara luas meja dan empat bangku kayu. Dari sampul bukunya menampilkan 3 orang pria yang mirip seperti orang yunani yang sering ku temui di buku geografi atau fisika. Hanya satu yang kurasa aku kenali dari ketiga orang di gambar , Plato, dari bacaannya sudah dapat ku simpulkan jika ia adalah manusia golongan Nerd yang hidup dengan pemikiran tergolong ribet.
"Gak nyangka tipe nya dinda yang cowok kutubuku gitu."
Sahut Tyas gadis berambut setengah merah sebahu yang tiba tiba ada di sampingku.
"Gak juga , aku cuma liatin aja itu orang yang jadi pelanggan seninan kita." Aku menahan tawa di antara kalimatku.
"Iya juga sih, aneh aja dia datang ke sini tiap senin sore antara jam 5 atau 6 lalu pesen minum dan kue kacang atau apple pie yang sama. Jam pulangnya juga sama jam 9 an lah. Gila! Hidupnya terjadwal dan terogranisir banget.
"Hush." Aku hendak membekap mulut Tyas. "Mulutmu itu "
"Bener gak Cyn? " Tyas mengerling pada Cyntia yang lagi melongok dari dalam kitchen.
Ia tertawa kecil sambil mengelap tangannya yang kotor
"Tipe nya si Dinda tuh."
Alex dan Cyntia ikut tertawa.
"Berisik." Bentakku.
Mereka bertiga cekikikan di belakangku , tak ku hiraukan aku termenung memandangi langit yang begitu gelap tak tertembus cahaya sedikitpun. Jalanan yang tergenang menimbulkan riak riak air sementara di luar mendung yang bergelayut membentengi dunia , mungkin matahari sedang menapaki tangga menuju ufuk tempat beristirahat.
Hingga menjelang malam tak banyak wajah wajah yang datang ke Cafe , kedinginan dan kebuntuan yang di timbulkan hujan sore tadi nampaknya sukses membuat banyak kaki malas melangkah untuk konkow di Cafe dan minum kopi bersama. Mungkin lebih baik menyeduh sendiri di rumah sambil nonton TV.
Walau berjalan lama akhirnya waktu menunjukkan pukul 11 malam. Aku segera berberes dan beranjak pulang menuju kost.
"Dingin banget ya Din?"
Kata Tyas di tengah perjalanan menuju Kost. Kebetulan kost kami hanya berjarak sekitar 500 meter dari Cafe, aku dan Tyas terbiasa jalan kaki berduaan sepulang kerja.
"Coba ada yang anget anget pasti enak." Tyas menggigil, merapatkan tangan di dada.
"Kenalpot motor mau?" Jawabku sekenanya.
"Ih sinis aja kamu.. " Tyas memanyunkan bibirnya.
"Aku pengen mie instan yang banyak kuahnya, yang pedes."
Kringg.. hapeku bergetar dari dalam tas. Kulihat deretan nomor tanpa nama menghubungiku.
"Siapa nih." Kataku sambil menekan tombol reject.
Tak lama kemudian muncul lagi panggilan dari nomor telpon yang sama.
"Apaan sih." Aku menekan tombol reject.
"Siapa tuh , mantan kamu di kampung. Mau dilamar ya? Yaudah sih angkat aja , dirijek mulu kayak lagu dangdut."
"Apaan , orang nomer gak di kenal."
Tyas menghentikan langkahnya tepat saat kami berada di depan pintu gerbang kost. Ia menyipitkan bibirnya seperti hendak tertawa. Lalu ia buru buru masuk dan mengunci pintu kamar.
"Cewek aneh."
Nomor tak di kenal itu masih terus menelponku.
"Haloo" akhirnya aku menjawab.
"Ini siapa?" Terdengar suara cowok dari seberang.
Ingin sekali aku tersenyum sarkastik seandainya ia bisa melihat.
"Maaf, harusnya saya yang nanya begitu, anda yang telpon kesini kan?"
Diam sesaat.
"Bukannya anda yang nulis nomer hape anda di cup coffe saya? Dan minta saya untuk menelpon anda?"
Rasanya seperti di sambar petir. Hanya satu pelanggan yang membeli kopi untuk di bawa pulang sepanjang sore tadi.
Aku mendobrak pintu kamar berlari dengan cepat menggedor kamar sebelah.
"Tyas.. keluar, aku mau congkel matamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
General FictionPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...