My Story

3 0 0
                                    

"Kamu tahu artinya cerita itu."

Sean keluar dari pintu kamar menenteng secangkir kopi memergoki aku yang baru saja menamatkan cerita yang ku baca.

Entah sejak disini ia mulai suka minum kopi hitam khas kampung, ia juga sudah terbiasa makan dengan tempe goreng dan sayur bening. 

"Perubahan yang lebih merakyat tampaknya." Sindirku, mengerling pada secangkir kopi.

"Aku kira kamu bakal kesusahan menyesuaikan diri disini, tapi enggak ya ternyata." Lanjutku sambil terkekeh. 

Sean melotot sinis. Ia tak suka dengan leluconku.

"Itu kan sudut pandangmu aja. Kamu selalu menilai orang mengukur dengan sejauh mana matamu bisa melihat."

"Kok jadi marah?" Selaku.

Terserah ih.

Ia meninggalkan kopi berserta cangkirnya bersamaku, tanpa menyentuhnya sedikitpun. 

Ia masuk ke dalam beberapa saat, dan keluar dengan kamera besarnya menggantung di leher. Ia menggelung rambutnya yang sudah lebih panjang dari biasanya membentuk cepolan kecil dengan karet dan berlalu begitu saja.

"Woy mau kemana." 

Sean tidak menjawab , ia justru menyebrang jalan menuju kebun kelapa. Punggungnya perlahan tenggelam.

"Mau kemana sih, dasar cupu."

Aku segera mencari sandalku dan menyusulnya menyebrangi kebun kelapa. Tengkuknya sudah hilang, tapi aku masih bisa melihat tapak kakinya yang berbekas akibat sebelumnya ia menginjak tumpukan lumpur di tepi jalan. 

"Sean?" Aku telah berhasil menyebrangi rimbunan pohon kelapa dan sampai di jalan setapak sisi lainnya dari desa. Di sebelah kirinya terdapat beberapa pohon bambu hijau yang tumbuh nan lebat dan ladang jagung yang terpagari kawat berduri. Aku tahu siapa pemiliknya.

Aku berjalan menyusuri setapak jalan yang masih menggunakan aspal kelas rendah. Terdapat sebuah bangunan kuno dengan atap seng yang ramai oleh beberapa  orang yang sedang melakukan pengolahan gabah untuk menjadi beras. Dan aku juga tahu siapa pemiliknya. 

"Kemana sih si kutubuku, ngambekan banget kayak perawan."

Aku berhenti di depan sebuah bangunan putih yang bersih, itu adalah kantor PDAM di desa, dan tak jauh dari sana terdapat sebuah bendungan atau DAM sisa peninggalan belanda dan kanal banjir yang masih aktif sampai sekarang.

Tiba-tiba aku ingat saat kecil dulu, aku sering mandi di kanal pembuangan air dam bersama Agus. Meski sudah di larang oleh ibu tetap saja aku terus mandi di sana. Alhasil kami berdua jika terpergok harus mendapat hadiah sabetan lidi di kaki dan tangan kami.

"Kayak gimana ya tempat itu sekarang?" 

Rasa penasaranku pun muncul.

"Tapi Sean kemana." 

"Ah bodo amat, udah gede juga ntar juga balik sendiri."

Akupun bergerak menyusuri tangga batu di samping barat kantor PDAM , tangga batu itu sedikit berlumut dan licin. Aku berjalan hati-hati terjinjit-jinjit menuruni setiap anak tangga. Sesampainya di bawah terdapat sebuah bendungan kecil yang mengalirkan guyuran air yang menyusuri anak sungai yang lebih kecil dari sungai utama. Aku ingat di ujung sana sebelum anak sungai ini menyatu kembali dengan sungai utama adalh tempatku mandi bersama teman-teman dulu.

Terdegar suara gemericik air di dekat nya , kemungkinan tempat ini masih aktif di gunakan sebagai pemandian buat anak-anak kecil di desa.

"Dinda?"

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang