Aku masih mendiamkan Alex dan Tyas di tempat kerja aku merasa kesal dengan perlakuan mereka yang berani beraninya menaruh nomorku di Cup takeaway milik si mas kutubuku.
Sehari, dua hari, tiga hari, minggu telah membawa kembali hari bernama senin datang. Dan sesuai hidupnya yang terjadwal dan terencana si mas kutubuku akan datang nanti sore sekitar jam lima atau jam enam petang untuk dan membaca salah satu koleksi rak lemari bukunya, atau mungkin perpustakaannya.
Aku mulai berfikir beberapa kemungkinan yang akan ku alami nanti sore
Si mas kutubuku akan mengadukan ke manager jika ada salah satu staff yang mencoba mengajaknya berkenalan.
Dia akan mendatangi meja kasir dan bertanya nomer itu milik siapa.
Dia akan stay cool dan menganggap gak terjadi apa- apa .
Dari beberapa kemungkinan ,aku berdoa semoga tuhan mengabulkan kemungkinan ketiga. Tapi walaupun toh nantinya akan di adukan dan kami mendapat masalah aku akan bilang ini kerjaan Tyas dan Alex , aku disini korban , bukan pelaku.
Rasa malas menghantuiku sejak saat pertama menginjakkan kaki di Cafe. Tidak konsen pada pekerjaan hingga beberapa kali salah, dan tak bisa memalingkan pandangan dari jam yang terus berdetik mendekatkan diri pada puku 6 sore.
18.14 kabar buruk itu datang. Sebuah mobil putih yang tak ku ketahui apa jenis dan mereknya berbelok memarkir tepat di bawah pohon kamboja. Pintu terbuka menampilkan kemunculan seorang pria berambut terselip di telinga mengenakan kemeja flanel kotak kotak hitam bergradasi dengan coklat tua dan sedikit garis merah. Sebuah jeans hitam panjang mengkilat dan sepatu Converse putih terlihat di mataku seperti Iblis yang sangat ku takuti kedatangannya.
Ia berjalan menuju pintu depan. Aku segera jongkok mengobrak abrik basket kayu di bawah meja untuk mencari kertas roll untuk print bill di kasir. Meski isi basket itu sebenarnya memang kertas print itu semua. Cyntia yang melihat kedatangannya segera mengambil alih,
"Silahkan." Ia menunjukkan papan kayu berisi daftar menu. Tapi seperti biasa ia hanya memesan makanan yang selama ini ia pesan dan berlalu menuju meja kosong di pojok ruangan.
Aku menghela nafas lega dan kembali berdiri , sambil menikmati kesemutan yang menjalar di lutut hingga pangkal pahaku.
"Kamu ngapain ngambil kertas lagi, ini kan masih banyak?" Tegur Cyntia.
"Hehe. Pakek stock takutnya tamu rame."
Cyntia mengerling aneh. Berbalik ke kitchen untuk menyiapkan orderan si mas kutubuku.
Tak lama kemudian Cyntia datang dengan baki di tangan meletakkan pesanan di meja si kutubuku. Ia nampak mengucapkan terimakasih sekilas.
"Heran deh, kutubuku tapi gak pakek kacamata." Ledek Cyntia di dekat telingaku ketika kembali.
"Tapi better deh, kalau pakek kacamata makin keliatan cupunya , rambutnya aja udah kayak gitu." Ucapnya lagi.
Aku hanya tersenyum menanggapinya, karena dalam hatiku masih ketar ketir selama makhluk ini disini.
Tyas tak berani menampakkan batang hidungnya. Ia mencoba sesibuk mungkin di area belakang menghindari segala kemungkinan kalau si mas kutubuku mencari siapa penulis nomer di Cupnya.
"Gila ya cecunguk berdua itu, dikiranya hidup kamu kayak film the proposal pakek nulis nomer di gelas."
Kata Cyntia sambil mengelap gelas di sampingku.
"Kok kamu tahu?"
"Alex yang cerita. Pasti kamu takut banget ya sekarang ini."
"Kamu gak liat lututku gemeteran."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
General FictionPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...