Senja perlahan datang semakin cepat seiring condongnya equator ke sisi selatan. Malam semakin panjang dan fajar yang datang semakin enggan , memberi kabar pada deretan pohon maple untuk mulai menggugurkan daunnya yang kecoklatan.
Bulu-bulu halus bergerak-gerak saling berderik diantara lebatnya ilalang kering. Sayap-sayap kelompok burung layang-layang yang tengah bersiap melakukan perjalanan panjang menuju selatan saat musim dingin tiba.
Namun malang bagi si kecil Mauritius. Ia adalah burung termuda dalam koloninya yang baru pertama kalinya akan mengikuti migrasi ke selatan. Namun bukan hanya itu kendalanya , sayap kirinya yang pernah cedera adalah bahaya terbesar yang akan ia temui di perjalanan. Selatan adalah tempat yang harus dilalui dengan terbang melewati perbatasan kontinen dan melayang diatas dataran air pasifik.
Mauritius merenung , ia mengingat cerita teman temannya tentang adanya beberapa anggota koloni yang gugur dalam perjalanan menuju selatan dan kembali ke utara. Namun jika ia memilih tak ikut ia akan berakhir menjadi fosil di bawah tumpukan salju musim dingin ,berakhir bersemayam menjadi pupuk alami bagi bunga tulip yang akan mekar di musim semi.
Ketua kelompok di bagian depan mengepak-ngepak tegas melayang setinggi dua kaki diatas kelompoknya, disusul suara kepakkan gemuruh dari seisi kelompok yang mirip dengan suara tepuk tangan. Satu hentakan kaki di udara si ketua kelompok membawa tubuhnya melesat ke udara. Disusul seluruh isi koloni yang merajut tingi membut sebuah barisan di awang-awang. Kadangkala berderet, kadang membulat, lonjong, bergerak lurus menuju equator.
"Mauri, kamu baik diasana kawan?" Panggil Ester.
"Yeah."
"Kepakkan sayapmu , siapa yang akan tiba di selatan terlebih dahulu diantara kita." Ia lalu melesat diantara jutaan sayap.
Sore itu rombongan bersinggah pada sebuah kota yang berdiri di tepi teluk dengan pemandangan laut biru yang indah. Ester dan Mauritius bertengger di kubah Gereja menyaksikan seja yang tenggelam menuju dasar samudra pasifik.
Entah mengapa senja begitu cepat datang akhir akhir ini. Dan malam begitu lama dan dingin, Mauritius menatap jutaan gerlap gerlip di langit malam , hembusan angin dingin yang menerpa dari utara mengiringi harapan yang tak sabar menunggu esok untuk segera mengepak menuju selatan.
Esoknya, saat fajar kembali menyingsing. Rombongan burung itu kembali melanjutkan perjalanannya. Namun malang bagi Mauritius, sayapnya mulai terasa sakit, ia berhenti sejenak di atas tiang listrik untuk beristirahat. Sementara rombongan bagian depan sudah semakin menjauh. Ia lalu terbang lagi, bergabung dengan rombongan belakang.
Sampai rasa sakit itu kembali datang, Mauritius berusaha tetap terbang , pelan-pelan sampai ia tertinggal di barisan paling belakang.
"Tunggu." Panggilnya pada kawannya.
Ia mulai kehilangan keseimbangan, ia melayang dan jatuh diatas tanah kering bekas ladang gandum yang telah di panen. Mauritius terbang lagi , tapi hanya mampu sejauh beberapa langkah saja.
"Tunggu aku." Teriaknnya pada barisan yang sudah semakin menjauh. Ia berjalan dengan sayap kiri yang terkulai, menangis sendirian dalam hatinya hanya sebuah kematian yang akan segera datang menjemput.
Mauritius semakin lemah , ia menyandarkan diri pada batang pohon pinus yang masih menghijau sendirian. Matanya memberat dan ia jatuh pingsan.
"Burung kecil, apa yang membuatmu berada disini?"
Sebuah suara bergemeletuk yang menjatuhkan kulit pohon pinus membangunkannya kembali.
Seekor burung dara putih bertengger diatasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
General FictionPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...