Home

3 0 0
                                    

   "ibu kamu marah gak din?" Sean melipat sebuah baju panjang rajut berwarna merah hati ke dalam ranselnya yang penuh dengan baju ganti.

"Kamu sudah bilang sama ibu kamu. Aku takut aja nanti aku diusir."

"Udah kok." Aku memungut tas jinjing ku yang berat penuh dengan oleh-oleh berupa makanan kering dan dua buah baju , satu untuk Agus adikku dan satu untuk ibu.

Sean masih berkutat dengan barang bawaanya mengecek satu persatu agar tak ada yang tertinggal.

"Aku tunggu depan ya." Kataku saat aku sudah di ambang pintu kamar Sean. Diam-diam kuselipkan buku catatan Sean dalam barangku, aku ingin melanjutkan membaca cerita yang di tulis Sean itu.

Ia hanya mendongak dan mengangguk. Lalu fokus mengelap lensa kamera dengan tissue.

"Jangan lama lama." Kataku lagi. Aku pun turun menapaki anak tangga menuju bawah. Jendela rumah Sean sudah ditutupi rapat oleh tante Hera. Sebuah teko panas tengah di jinjingnya dan menuangkan isi airnya yang mengepul dalam dua buah termos mini di meja.

"Tante." Aku menghampirinya.

"Iya, " ia tersenyum manis melihatku.

"Kenapa?"

"Gak ada." Aku merangkul manja pinggangnya. "Nanti Dinda bakal kangen tante."

"Tante titip Sean ya." Ia menepuk pipiku beberapa kali. "Inget di bawa balik lagi."

"Pasti tan, masak iya Dinda culik terus minta tebusan 1M " 

Kami tertawa.

Terdengar suara langkah kaki dari atas. Sean sudah mengalungkan tas kamera di pundaknya sembari menggendong ransel berisi baju dan menarik turun koper merah. 

Ia dan Tante hera berpelukan , Tante hera mencium kening dan pipi kirinya.

"Kamu jangan bikin susah Dinda ya. Kamu harus betah , di desa gak sama kayak disini. "

"Iya Tan, selamat hari raya ya Tan," Sean memeluk erat Tantenya seperti seorang ibu dan anak. Batinku menjerit ingin segera bertemu ibu di kampung. Ku palingkan wajahku , ku tinggalkan mereka dan menunggunya di teras.

Tak berapa lama Sean keluar, dan kami diantar Tante Hera menuju terminal. 

"Kamu gak papa kan naik bis gini." Itu yang ku tanyakan pada Sean sesaat sebelum melangkah naik tangga Bus, yang aku pesan. Aku terpaksa memesan bus kelas eksekutif agar Sean gak kepanasan dan nyaman sepanjang perjalanan. Padahal jika biasanya aku sendirian, aku selalu menggunakan ekonomi agar ngirit di ongkos. Cewek seperti aku terbiasa duduk berhimpitan dengan orang orang dari yang bau keteknya kayak kerupuk masem, sampek ibu-ibu menor yang baunya kayak pakek parfuk satu galon.

Yah. Lagi dan lagi aku harus berkorban untuk si mas kutubuku ini. 

Sean memaksa duduk di sebelah jendela agar gak ngantuk alasannya. Sepanjang jalan ia menatap ke luar jendela, mengamati deretan rumah, pohon kendaraan yang berpapasan dengan bus kami.

"Berapa lama perjalanannya Din?" Sean menguap.

"Kira kira 14 jam nyampe terminal terdekat kampung aku, nanti dari sana kita naik angkot ke rumah."

Aku menengok jam tangan. "Kira-kira 8 jam lagi nyampe."

Sean menggeliat menggerakkan punggungnya yang sakit akibat lamanya perjalanan. Beruntung Bus nya enak ber-AC gini, dan itupun sudah cukup menyiksa baginya. Dasar anak manja.

"Tapi kita tetep naik Bis ini kan? Gak perlu transit ke Bis lain kan?"

"Transit? Kamu kira pesawat?" Aku terkekeh geli.

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang