"Thank's ya Din, I'm soo happy."
Sean tersenyum senyum sendiri, memakan permen kapas dengan menjumput dari jari tangannya. Dua garis alis tebal yang hampir menyatu di kening itu bergerak-gerak. Udara semakin dingin saat aku mulai merasa gemetar di lutut.
"Udah jam 9." Tatap nya datar padaku. Seolah ia akan mengakhiri sebuah kebahagiaan dalam hidupnya.
"Kamu udah mau pulang." Tanyanya , meski jelas tergambar dalam raut wajah itu , ia tak ingin mengakhiri malam ini. Ada terbesit sebuah keinginan untuk tetap berada di tempat ini.
"Aku gak ingin buat Tyas khawatir, soalnya aku udah pamit sama dia pulang jam 9."
"Oke." Ia hendak bangkit tapi ku tahan sebentar tangannya.
"Aku boleh nanya sesuatu gak? Tapi kamu jangan sedih ya?"
Ia tertegun.
"Malam saat aku nabrak pohon itu ya?"
Aku mengangguk pelan.
"Aku gak bisa cerita sama kamu."
Ia duduk lagi menatap kosong pada jalanan yang dilalui berbagai kendaraan. Tangan kirinya memutar mutar sisa permen kapas.
"Kadang aku ngerasa begitu sendiri Din."
"Kamu gak akan kesepian selama kamu masih inget sama Tuhan ,"
"Entahlah. Apakah aku masih percaya dengan-Nya." Ia berdiri membersihkan debu di pantat. "Ayo ,aku antar pulang."
Sepanjang jalan ia terdiam hingga sampai di depan gang Kost ia hanya tersenyum dan mengucap terimakasih singkat.
"Aku nyesel udah nanya tentang malam itu ke kamu, padahal kamu tadi udah seneng."
"Gapapa, Kamu mau aku ajak jalan malam ini aja udah lebih dari cukup." Ia menarik lenganku, dan menggenggam erat. "Din, temenin aku ya, kamu mau kan jadi temen aku , aku gak mau sendirian Din."
"Iya, tapi kamu jangan terlalu maksa aku. Aku juga harus pakai waktuku untuk hal lain, bukan kamu aja.. jangan berlaku kayak kamu harus di nomer satukan lagi ya."
Tiba-tiba muncul rasa kesalku lagi, setelah sedari tadi aku merasa iba atas keadaannya.
Sean mengangguk, aku keluar dari mobilnya berjalan menuju pintu kost, yang mungkin saja Tyas sudah sibuk dengn sejuta pertanyaan tentang Mas Kutubuku.
***
Diantara keriuhan dan keramaian dunia. Akan ada jiwa-jiwa yang terpinggirkan dan tersudut, menyepi dan menyendiri, berdiri di ujung bumi mencari penghiburan nestapa hati.
***
Kamis.
Aku , Tyas , dan Cyntia sedang ikut si Kutubuku makan malam di sebuah kafe mungil di pinggir pantai. Aku duduk bersebelahan dengan Tyas, sementara Cyntia dengan sedikit terpaksa duduk dengan Sean si kutubuku.
" Ia sendiri jadi bertingkah aneh, meletakkan pensil di atas bibir yang dalam kondisi mengerucut kecil mirip bibir tikus. Sebuah kertas putih berbentuk tebal dengan bingkai bambu sederhana tergeletak di antara meja kami berempat.
Memang di Cafe ini setiap pengunjung akan di fasilitasi dengan alat-alat menggambar , seperti crayon, pensil, spidol, yang di bisa digunakan sembari ngopi ngopi santai. Sesuai dengan nama tempatnya Paint Cafe.
"Kamu mau gambar apa Se?" Tanya Cyntia menengok kertas putih Sean.
Ia langsung reflek menutupi sebagian kertasnya bak anak SD yang mau di contek jawabannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
Genel KurguPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...