Jawaban Atas Segala Tanya

3 0 0
                                    

Empat buah garis di kiri dan tiga dikanan. Seperti robekan kain yang di robek paksa. Ia bagaikan sosok yang tak lagi memiliki pengharapan dalam hidupnya. Terbaring dengan mata tertutup daun bibirnya memucat.

"Jangan khawatir, dia sudah baik baik saja." 

Kata seorang wanita berambut di kuncir dengan jas putih. Ia adalah dokter yang merawat Sean.

"Luka itu mengerikan ya." Ia tampaknya mengerti apa yang menjadi point dari pupil mataku. "Dia mencoba menggores nadinya dengan pecahan kaca, makanya luka yang dihasilkan jadi tidak rata karena permukaan kaca yang tidak rata, kalau dia menggunakan pisau atau benda tajam mungkin tidak separah itu lukanya."

"Dan itu juga kabar baiknya. Andai saja saat itu yang ada di tangannya adalah pisau atau silet, mungkin dia tidak akan berbaring di sini. Tapi ruangan dingin di ujung koridor sana."

Ia berkata begitu mengerikan. 

Pintu di balik punggungku terbuka, muncul seorang wanita berambut keriting terjuntai di bawah bahu. 

Dokter wanita itu memeriksa infus dan perban perban di tangan Sean. 

"Dia menghabiskan dua kantong darah." Kata dokter itu menatap Ibu Sean yang kini berdiri di sampingku.

"Tapi dia sudah baik baik saja. Tunggu saja." 

Dokter itu pergi, sekilas dapat ku dengar suara serak mengucap terimakasih dari bibir wanita yang ku kenal sebagai ibunya.

Ia duduk tepat di samping tangan Sean yang terluka. Mengusap perban yang sedikit kemerahan. 

"Ini semua salah saya." 

Sebagai satu satu nya makhluk hidup selain dia yang dalam kondisi sadar di ruangan itu aku jadi bingung. Apa kata itu untuk Sean yang lagi gak sadar, Atau untuk dirinya sendiri, Atau untukku.

"Duduk saja. Jangan berdiri terus."

Kali ini aku ngerti dia bicara denganku.

"Dia kecewa sama orang tuanya." 

"Ada alasan kenapa dia lebih patuh sama Tantenya ketimbang ibu ayahnya. Karena ayah ibunya memang gak pernah jadi orang tua buat anak ini." 

Tangannya kini berpindah ke dahi Sean yang berkeringat. 

Plapp..  pintu kembali terbuka.

"Dinda ayo ikut tante ke rumah." 

Aku berdiri begitu pula dengan ibu Sean. 

"Tapi saya mau pulang ke kost tante." Kataku.

"Nanti dulu, ikut kerumah aja bentar." Ia menarikku keluar.

Di dalam mobil, aku duduk di sebelah Tante Hera, sementara Ibe Sean duduk di samping sopir taxi. Mereka berdua mengobrol tentang kronologis Sean yang di temukan sedang menggores gores tangannya di kamar jam dua malam oleh Putra. Aku yang sedari tadi penasaran jadi tahu tanpa bertanya, hanya menguping saja pembicaraan mereka.

"Untung Putra siaga dengan kondisi anakmu." Gerutu Tante Hera di ujung ceritanya.

"Ini salahku dan Mas Surya mbak. Kami menelantarkan anak itu." Ibu Sean sesegukan.

"Bagus kalau kalian sadar. Dulu anak itu periang dan suka menggambar. Kamu tahu awal dari dia membuat jarak sama kalian." 

"Gak mbak." 

"Kamu inget waktu dia kelas 1 SMP waktu dia datang ke rumah kamu buat nginep malam minggu , dia bawa gambaran yang dia buat untuk ditunjukkin ke kamu. Itu dia menang juara satu lomba karya lukis mading di sekolah." 

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang