Seminggu telah berlalu sejak aku mengungkapkan perasaanku pada Sean. Ia semakin menjauh dariku. Bahkan sekarangpun ia sudah tak lagi menyapa keberadaanku saat di butik. Sesekali ia hanya menatapku lama saat aku sedang berkerja di belakang mesin jahit dan saat aku melihatnya ia berpaling dan menatap ke arah lain.
Inikah penghargaanmu buat orang yang berada di sisimu saat seluruh dunia mengacuhkanmu? Harusnya ku biarkan saja dia dulu seperti itu dengan fasenya yang mencoba menghancurkan dirinya sendiri.
Aku termenung dalam lamunanku saat sedang menjahit sebuah pesanan baju bayi berbentuk gaun formal untuk bayi kembar tiga pesanan ibu-ibu muda. Aku kembali membayangkan Agus dan Ibu secara bergantian. Sembari mengutuk diriku sendiri dalam otakku, bukankah aku pergi sejauh ini meninggalkan rumah hanya untuk mereka. Lalu apa gunanya aku mencoba menyukai keponakan dari bosku sendiri.
Aku mengambil pemotong untuk memotong benang. Namun tanpa sengaja aku telah membuat jariku sendiri terluka. Aku panik mengangkat tanganku agar tak terkena kain yang berwarna putih milik pelanggan.
"Aduh.aduh." Aku mengibaskan tanganku.
"Kenapa kak. " Karina, karyawan yang baru kerja sebulan menghampiriku.
"Yaampun." Ia melihat darahku yang mengucur di tangan. " Bentar kak aku ambilin obat. " Ia menghampiri kotak P3K yang tergantung di dinding.
Aku sendiri tak menggubrisnya. Aku segera mencuci tanganku di wastafel kamar mandi. Aku langsung menangis sejadi-jadinya. Bukan karena tanganku. Tapi hatiku yang terluka.
Karina membuka pintu toilet dan terkejut melihatku menangis sekeras itu.
"Sakit banget ya kak." Ia panik mengeluarkan betadine hingga segala isi kotak obat terjatuh dan berantakan di lantai toilet.
"Aku gak papa kok." Kataku.
Karina dengan sigap membantu membalut luka di jariku. Aku masih menangis disambut tatapan heran darinya.
" Sean gak punya perasaan"
Aku melanjutkan pekerjaanku dengan hati yang masih bergelimangan kemana-mana. Sampai perlahan matahari meluncur rendah di tepi barat. Dan jarum jam membentuk garis vertikal 180° membentang di angka 6 dan 12.
Aku keluar dari pekerjaanku setelah menyelesaikan shiftku. Langit sudah temaram dan lampu jalanan mulai di nyalakan. Aku segera pulang ke mes berdua dengan karina. Aku segera masuk kamar mandi dan membasuh tubuhku dengan guyuran air dingin.
Tiga puluh menit. Aku membiarkan air membasuh tubuhku. Sambil memejamkan mata aku merasakan air mengucur tepat di bagian depan kepala, melewati ruang diantara kedua mataku menyebar di pipi dan turun di sayap dagu.
"Aku harus menghubunginya."
Aku keluar dari kamar mandi. Duduk di tepi ranjang dengan kepala masih berbalut handuk. Ku ketikkan beberapa kata pada Sean.
"Sekarang bahkan kamu sudah gak mau nyapa aku, bahkan gak mau ngelihat ya." Kataku.
Beberapa saat kemudian 'last seen' di profile wa Sean berubah jadi 'online' ia segera mengetikkan pesan, namun menghilang beberapa saat ia mengetik kembali lalu hilang lagi. Sepertinya ia juga bingung harus bicara apa.
Ting...
Sean menelponku.
Jantungku berdebar kencang. Perlahan ku tarik ke atas ikon berwarna hijau.
"Haloo Din. Kamu dimana?" Terdengar suaranya Sean dari seberang.
"Di Mes."
"Din."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
BeletriePernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...