Memories

3 0 0
                                    



Tanpa terasa air mataku perlahan jatuh dari sudut pelupuk mataku. Sudah dua minggu ini Sean tak pernah menemuiku. Bahkan saat aku datang ke rumah Tante Hera sepulang kerja. Menurut penuturan Putra ia sekarang lebih sering berada di rumahnya sendiri. 

Beberapa hari yang lalupun aku mencoba melewati rumah dengan pohon cemara di halaman depannya itu. Tapi ia nampaknya tak ada di sana , Sean mungkin sedang pergi. 

'ngapain sih , kamu ngarep ama dia.'

Batinku kemudian. Aku mencoba berfikir dengan akal sehatku. Ku kunci pintu butik dan beranjak pulang. Berjalan dalam golakan pikiran yang terus berganti ganti. Antara hatiku yang merindukan Sean dan otakku yang mencoba membuatku sadar untuk berhenti berharap. 

'lama-lama aku jadi bipolar juga nih.' 

Kataku dalam hati. Meski setelahnya aku menyesal telah menghina Sean seperti itu, sebenarnya itu hanya ungkapan kekesalanku saja.

Lampu jalanan yang bergantian mati dan hidup, dan rintik hujan yang datang turun sedikit demi sedikit mengiringi langkahku yang gontai perlahan.

Ini udah sama seperti suasana saat kita pertama kali ketemu Sean. Kamu inget gak? Waktu itu saat aku mengenang kedatangan ku pertama kali ke kota ini dengan keadaan hujan dan lampu jalanannya yang berkedip bergantian. Kita juga mengukir sebuah kenangan pertama pertemuan kita. Pertemuan bukan sebagai pengunjung Cafe dan pelayan, tapi awal perkenalan kita.

Tanpa di sengaja , suasana yang sama telah membuat dua memori terpenting yang aku ingat sekarang ini. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengingat saat ini di kemudian hari, saat dimana aku yang dulu berusaha membuatmu tak menangis, tapi saat aku yang menangis gak ada orang yang menghapus air mataku dan berkata kalau akan selalu ada di sini buat aku. 

Aku berjalan tanpa tujuan. Bagaikan sebuah batuan yang terlempar dari orbit sebuah pelanet saat ia tak di butuhkan. Aku bak melayang tanpa arah dan tujuan. Di jam yang hampir tengah malam. Masih dengan seragam kerja. Terdengar beberapa kali handphone bergetar dari dalam Tas. Mungkin itu teman satu Mes yang khawatir dengan keberadaanku. Karena memang bukan hal yang baik buat seorang cewek jalan di trotoar selarut ini di tengah kota. 

Tapi saat ini aku menjadi tak perduli. Kemungkinan di rampok, diperkosa ,atau di bunuh sekalipun.

Aku seakan berjalan tanpa henti, sampai aku berhenti di depan sebuah gang yang familiar bagiku. Berukuran hanya selebar 5 meter di dalamnya terdapat bangunan berpagar biru sebuah rumah kost dengan bilik kamar yang banyak.

Bagaimanakah kabar Tyas sekarang, kabar Cyntia, Alex dan anak kuliah tetangga kost ku dulu. Sejenak aku ingin mengutuk diriku sendiri menatap gang yang sunyi gelap hanya ditunggui segerombolan kucing liar itu.

Sudah hampir satu tahun lamanya aku disibukkan dengan Sean dan segala macam tetek bengeknya. Sampai aku lupa orang-orang yang dulu pernah membantuku dalam kehidupanku.

Mungkin ini karma jika Sean kali ini melupakanku dan memilih pergi bersama teman-temannya. Karena dulu saat aku bertemu Sean aku langsung lupa tentang Tyas dan lainnya. Siapa aku yang berharap menjadi sesuatu untuk Sean. 

Aku teringin mengetuk pintu gerbang biru itu. Namun ku urungkan niatku kembali saat melihat ia sudah sepenuhnya tertutup rapat dan segala sumber cahaya di dalamnya telah di padamkan. Pantaskah seorang teman yang telah lama pergi tanpa kabar bahkan menjadi lebih sukses yang tak sekalipun menengok atau bertanya kabar tiba-tiba mengetuk pintu dan mengganggu tidur lelapnya dengan cerita sedih yang butuh pendengar.

Cukuplah aku saja yang merasakan rasa ini. Tak perlu ku bagi saat sedihku pada mereka, sedangkan saat bahagia aku berpaling dan berjalan menjauh.

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang