"Din , gimana caranya kamu kalau pas lagi sedih gk sedih banget. Dan kalau seneng gak seneng banget."
Sean menegak kembali sisa susu rasa vanilla melalui bibirnya yang pucat.
"Kalau aku lagi sedih aku inget-inget , selain sedih aku inget hal yang membuat aku seneng, kayak inget ibu sama adik di kampung contohnya."
Sean merenung sejenak, kedua alisnya hampir bertemu saat ia berkspresi seperti memikirkan sesuatu.
"Kalau inget ibuku, aku malah makin sedih." Ia cemberut.
"Kalau inget masa kecil kamu ?" Tanyaku, dan sedetik kemudian aku rasanya ingin membenturkan kepalaku ke tembok.
Sean menggeleng.
"Yaudah gini deh, " aku berpindah tempat duduk di dekatnya. " Apa yang buat kamu bahagia? "
Sean melihat langit-langit.
"Apa ya din?"
"Ya apa kek gitu. Masak gak pernah bahagia." Bentakku jengkel.
"Enggak."
"Hufft.." aku melengos kesal. Ku ambil majalah di bawah meja dan mulai membalik balikan halamannya mengalihkan perhatian.
"Waktu aku dapet beasiswa din. Kayaknya sih. Tapi waktu itu aku seneng banget sampe aku teriak teriak gitu,"
"Yaudah, kalau kamu sedih pikirin aja kamu pernah dapet beasiswa." Jawabku, masih tak mengalihkan perhatian dari majalah di pangkuanku.
"Kalau aku bertengkar sama mama dan papa aku harus inget dapet beasiswa gitu."
"Iya."
"Kalau aku lagi ditinggalin cewek aku harus inget beasiswa ku juga."
"Iya Seannnn.."
Aku tiba-tiba terkejut. 'cewek' ulangku dalam hati.
Segera ku letakkan kembali majalah di bawah meja.
Dugaanku benar, ia sudah mulai muram menatap gelas susu kosong.
"Siniin gelas itu, ntar berubah jadi teko kamu pelototin gitu."
Ia menyerahkan gelasnya, dan gantian menatapku lekat. Aku berusaha menghindari tatapan kosong mirip tatapan suster ngesot itu dari wajahku, kuletakkan gelas itu di meja.
Ia sedang memainkan jarinya , mulai memikirkan sesuatu.
"Kamu gak lagi mikirin Yuki kan, inget kamu harus tetep di indonesia."
Sean menoleh dan hanya menyunggingkan tepi bibir sebelah kirinya.
"Buat apa kamu mikirin sebuah hubungan yang hanya menjadi toxic buat hidup kamu, hari itu masih panjang Yan."
"Gak kok, aku cuma mikirin kalau aku terlalu tinggi untuk berharap sama dia, siapa sih aku sampek berharap sama cewek seperti Yuki."
"Lalu siapa dia sampai berhak untuk kamu pikirin sejauh ini, " Potongku. "Sampek kamu mau bunuh diri, dia gak pantas."
" Kalau dia meninggalkan kamu , berarti dia bukan orang yang menginginkan kamu." Lanjutku.
"Siapa sih yang menginginkan orang kayak aku Din?"
"Sean, akan ada orang yang akan menganggap kita berharga, seburuk dan sehina apapun kita, saat kamu ditinggalkan oleh beberapa orang bukan berarti dunia gak menginginkan kamu, hanya tinggal menunggu waktu mempertemukan kamu dengan orang yang menerima kamu baik atau buruknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
General FictionPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...