Step Forward

3 0 0
                                    

Senja perlahan mulai benar benar tenggelam. Suara burung pipit yang bekicau di ranting pohon berpadu dengan suara takbir yang juga bergema di surau. 

Di sebuah meja makan kecil kami menikmati hidangan buka puasa sedarhana di dalam rumah yang juga sederhana. Sean lebih banyak diam, hanya menjawab sesekali saat ibu bertanya sesuatu. Ia menghabiskan semangkuk kolak buatan ibu , dan makan sedikit nadi dengan sayur bayam kuah dan tempe.

"Maaf ya , ibuk cuma bisa hidangin yang beginian. " Ibu membereskan piring piring di meja saat kami selesai. 

Sean berdiri hendak membantu. Tapi di hentikan oleh Agus.

"Mas Sean , ayo ikut ke masjid ikut pawai obor." 

"Gapapa nak, biar ibu yang beresin." Cegah ibu.

Sean dan Agus berjalan beriringan menyebrangi ruangan, dan keluar melewati halaman rumah. Suara takbir semakin nyaring terdengar dan saling bersahutan. Aku pergi ke kamar dan duduk sendirian di ranjang kamar yang rapi bersih, dan sudah di ganti spreinya.

Aku melihat barang bawaanku yang belum di bongkar dalam tas. Perlahan ku keluarkan dan ku lipat rapi satu persatu dan menatanya di dalam lemari. 

Dok dok. Pintu kamar diketuk dari luar.

Ibu mengintip dari luar dengan senyum mengulas di bibirnya. 

Ia membuka pintu dan masuk ke kamar, ia duduk di sampingku dan membantu melipat baju. Aku membiarkannya saja.

"Tiap malam takbir gini ibuk selalu sedih nduk." Gumamnya. 

"Inget Bapak. "

"Dinda juga buk." Jawabku, dengan sesuatu yang terasa tercekat di leher.

"Nanti kalau kamu sudah balik kerja lagi ibuk kesepian lagi di rumah."

"Sabar ya buk, Dinda melakukan ini semua biar Agus bisa sekolah , dan bantu ekonomi kita juga."

"Kalau Dinda disini mau kerja apa buk."

Air mata bening turun mengalir di pipi ibu. Aku menghamburkan peluk padanya. Ia mendekapku dn memgelus rambutku.

"Yang pasti ibu minta, kalau disana kamu harus hati-hati, harus bisa jaga diri."

"Iya buk" Aku terisak.

"Kalau boleh ibu tanya, sebenarnya kamu ada perasaan gak sama Sean?"

"Hah!" 

Aku langsung melepas pelukku dan menatap ibu. 

"Nggak buk. Dinda cuma kasihan aja sama dia, dia gak punya seseorang yang bisa diajak bicara itu aja gak lebih."

"Iya, ibuk percaya." Ibu menghpus bekas air mata di pipiku.

"Cuma ibu heran aja, kamu yang dulunya cuek sama laki-laki , bisa perduli dan mau nolong Sean seperti ini." 

"Gak ada maksud apa apa sih bu." Jawabku lugu.

Ibu kembali memelukku, membenamkan kepalaku dalam dadanya, sesaat aku dapat mendengar suara detak jantung ibu dengan telingaku. Aku berdiam membiarkan moment seperti ini berlama-lama, saat yang ku rindukan setiap saat sebelum kepulanganku.

*** 

Kadangkala sesuatu akan terasa berharga setelah terlewat jauh dan terkenang di kemudian hari, hingga kita mengingat jika kita telah melewati banyak hal yang berharga tanpa melakukan hal terbaik.

Pagi setelah shalat Ied , aku dan Agus langsung melakukan sungkeman pada ibu. Air mataku kembali tertumpah untuk kesekian kalinya. Sungguh tak adil rasanya kita hanya meminta maaf pada seorang ibu sehari dalam dua belas purnama. Sedangkan seorang ibu telah lagi merasakan sakit yang dibuat oleh anaknya sejak ia masih tersimpan di dalam rahimnya sendiri. Betapapun manusia akan meminta maaf pada seorang ibu tak akan mampu mengukur betapa besar bakti ibu pada anaknya. 

Sebuah mata terpincing di balik korden pintu yang terbuka di belakang punggungku. Seseorang berbaju putih dengan mata sendu.

"Sean." Aku mengayunkan tanganku memanggilnya. Tapi ia tak beranjak.

"Kenapa?" Aku bertanya tepat di depan wajahnya.

"Aku gak pernah merasakan hari raya yang seperti ini." 

Wajahnya memuram , ia mulai di bisiki lagi oleh Dean. 

"Inget kamu harus tetep di indonesia."  Bisikku, kutarik tangannya keluar. Ibu dan Agus menatap khawatir. Aku memberikan isyarat pada keduanya agar tersenyum.

Sean menunduk memungut tangan ibuku, dan menciumnya. 

"Selamat hari raya ya ibu. Terimakasih udah nerima Sean disini." 

"Iya nak" Ibu mengelus kepala Sean yang tak berpeci. " Temennya Dinda anak ibuk juga, senyum dong cah ganteng, sekarang hari raya harus bahagia."

Kami sekeluarga mengajak Sean halal bihalal keliling kampung, setiap orang yang melihatnya mulai berbisik. Maklum untuk ukuran cowok di kampung Sean cenderung "wah" tubuh tinggi berkulit putih bersih penampilan rapi rambut klimis, sangat berbeda dengan pemuda kampung yang kebanyakan kerja di ladang atau sawah yang otomatis membuat kulinltnya hitam.

"Calon mantu ya"

"Dinda pulang pulang bawa calon."

"Kapan rewangnya nih."

Celetukan seperti itu cukup membuatku merah padam. Namun Sean nampak cuek. Ia tampak antusias , halal bihalal keliling kampung nampak seperti  hal baru baginya. 

Ia menjadi sudut perhatian setiap orang yang melihat , beberapa kali pula ibu harus menjelaskan setiap kali pertanyaan muncul.

Dasar !! Bikin repot.

*** 

Seusainya halal bihalal, Sean duduk di kursi teras dengan Agus. Mereka sedang mengacak-acak foto polaroid hasil jepretan mereka saat pawai obor malam takbiran semalam.  

Mereka tertawa tawa. Aku datanv dan memberikan teh hangat untuk Sean. Ia antusias menujukan fotonya di tengah lautan obor.

"Kamu kenapa gak nyusulin Din?"

"Hm, aku lagi kangen kangenan sama Ibuk."

" Coba aja ibu aku baik kayak ibu kamu, pasti aku kangen juga."

Sean berbicara sambil masih asyik mengutak atik kamera polaroid berukuran kecilnya.

"Woy Sean" 

Aku tersentak. Dari seberang jalan pakde Karman , kakak ibuku sedang menuju rumahku dengan senyum sumringah di bibirnya. Ia bersama istri dan kedua anaknya.

"Kok Pakde udah kenal Sean?" Tanyaku setelah beliau mendekat.

"Adikmu yang ngajak dia ke kali kemaren Din, pas Pakde sama Bude juga di sana mandiin kebo." 

"Pantesan dia gak mau ikutan mandi , ada kebo sih."

Sean melotot tak senang. 

Sean cepat akrab dengan Pakde Karman, mereka mengobrol dengan sesekali ngemil kue lebaran. Sesekali tamu datang dan Sean cepat menyesuaikan diri dengan tradisi lebaran di kampung, ia langsung berdiri dan mengulurkan tangan ketika terdapat tamu datang dan mengantar sampai depan pintu saat akan pamit. Entahlah , mungki karena dulu ia tak pernah merasakan hari raya serame ini. Akhir ini aku senang memperhatikan perkembangannya. Diam-diam ku ketukan beberapa teks pada Tante Hera melaporkan perkembangan Sean. 

Sementara orangnya lagi sibuk ngobrol, selentingan yang ku dengar Sean akan diajak Pakde besok sore nanti jalan jalan di sawah lihat bebek dan kerbau. Aku tersenyum kecil melihat pancaran wajah Sean yang tanpa beban , tak seperti dulu lagi. Mungkin nun jauh di sana Tante Hera sedang mengukir senyum yang sama.

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang