Aku kembali terbangun di pagi hari dengan foto siluet diriku yang di foto Sean di perjalanan menuruni bukit waktu itu. Entah sudah beberapa hari aku menyimpannya di sebelah bantalku. Aku terus mengulang membaca kata-kata yang di tulis Sean di balik fotoku.
Aku terbangun di pagi hari yang sudah sebulan lebih berlalu. Cuaca dingin terasa semakin dingin di pagi ini. Aku menyibakkan selimutku dan membuka jendela. Tetesan air hujan mengguyur dengan derasnya di luar sana. Menciptakan genangan air di halaman, sepoi angin menggerakkan daun jati yang lebar, beberapa diantaranya terjatuh ke tanah karenanya.
Aku hendak beranjak ke kamar mandi saat Agus mengetuk pintu, beberapa saat kemudian ia membuka pintu dan menunjukkan setengah wajahnya di balik pintu.
"Mbak"
Aku hanya menaikkan alisku memberi isyarat padanya.
"Di depan ada Mas Sean?" Katanya singkat.
Dan benar saja. Ia berdiri di halaman tepat di depan teras. Matanya menatap kosong seperti biasanya. Rambutnya masih pendek seperti terakhir aku melihatnya. Ia mengenakan kaus putih yang sedikit basah oleh air hujan membawa ransel , matanya beradu denganku yang berada di pintu penghubung ruang tamu dan ruang tengah. Ia tercekat tanpa ekspresi, seperti orang tanpa perasaan. Tangan kirinya sedang memegang jaket denim yang di sampirkan di lengan. Hanya sepersekian detik mata kami beradu, sebelum ibu melewati tempatku berdiri dan menghampirinya.
"Ayo masuk nak Sean. " Terdengar suara ibu sesaat sebelum aku masuk ke kamar mandi.
Aku sengaja melambatkan urusanku di dalam kamar mandi. Mengguyur kepalaku yang sudah menggigil lebih lama, sembari mempersiapkan apa yang akan ku katakan pada makhluk yang saat ini mungkin sedang duduk di ruang tamu rumahku. Atau aku mencoba menerka kata yang akan ia katakan padaku nantinya. Akankah dia meminta maaf atau hanya menjadi kurir Tante Hera yang memintaku kembali berkerja. Entahlah, segala kemungkinan dan rencana berputar di dalam otakku seperti angka-angka dalam lemparan buah dadu. Untuk apa dia berjalan sejauh ini untuk mencariku, bahkan sendirian. Ini adalah Sean , cowok fragile yang lebih rapuh dari sekardus gelas. Sebuah hal yang besar ia berani mendatangiku kesini, bahkan ia tak pernah menghubungiku sejak hari aku meninggalkan kota.
Meski ku coba memperlambat untuk menemuinya. Pada akhirnya aku harus bertatap muka dengannya. Seperti memperlambat hari, pada akhirnya akan beranjak sore. Aku perlahan menghampirinya yang sedang duduk berhadapan dengan Ibu di ruang tamu. Segelas teh hangat tersaji di hadapannya dan sepiring kue kering di sebelahnya.
"Lumayan Bu, tadi saya nyasar jauh sempet bolak-balik keluar mobil buat nanya , ini sampek basah."
Sean mengibaskan pundaknya yang basah dan disambut gelak tawa Ibu.
Aku menghela nafasku , 'oke aku siap.' ujarku dalam hati. Aku memunculkan diriku dari balik pintu dan berjalan pelan menuju ke arahnya.
Melihat kedatanganku , Ibu langsung berdiri. Ia tampaknya paham akan terjadi obrolan yang sangat pribadi antara aku dan Sean.
"Nih Dinda udah datang, Ibuk lanjutin masak dulu ya."
Dan ibu meninggalkan kami berdua.
Aku mengambil tempat duduk di tempat ibu berada tadi. Ia berdiam melihatku.
"Apa yang membawamu jauh jauh kesini." Tanyaku.
Sean memungut gelas teh yang masih mengepul. Ia meminumnya dengan caranya yang sama.
"Tante yang nyuruh ya."
"Gak, aku datang atas kemauanku sendiri." Jawabnya lugas.
"Untuk apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
Narrativa generalePernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...