The Tree Of Life

2 0 0
                                    

Bulatan senja sang surya menapaki ufuk menuju turun di cakrawala. Bagian bulatan bawahnya berada tepat di atas bunga padi yang setengah menguning. 

Diantara petak petak sawah yang di jaga beberapa boneka orang-orangan sawah, dan beberapa manusia yang bercaping duduk beristirahat di tepian jalan tempat andong yang di tarik oleh lembu hitam milik Pakde Karman melaju pelan membawa tubuh Sean yang nangkring diatasnya sembari  jeprat jepret kesana kemari dengan kamera dlsr nya.

"Mbak , kameranya Mas Sean banyak ya." Bisik Agus kepadaku yang berjalan beriringan di belakang andong.

"Ya, dia itu orang sugih gus.  Gak kayak kita ini, mau beli beras aja susah."

"Oiya mbak, kemaren Mas Anto lihat Mas Sean , terus kemaren waktu Agus belanja ke warung dia nanyain Mas Sean."

Degh!! Mendengar nama itu aku menjadi gugup.

"Tanya apa Dia?"

"Dia nanya, apa Mas Sean itu Pacarnya Mbak? Aku jawab aja gak tau. Kayaknya dia cemburu mbak."

"Ngapain dia cemburu orang dia udah ada istri." Cibirku.

"Orang istrinya sudah kabur. Beberapa kali dia nanyain mbak , kapan mbak balik , kerja apa sama Agus. Tapi ibuk bilang Agus gausah terlalu ngerewes dia."

"Cuih" aku langsung meludah kasar ke jalanan. 

Tak kusangka ada orang yang melotot di atas andong, Sean mengeryit menyatukan dua alisnya diatas mata.

"Kenapa kamu din? " Tanyanya setelah turun dari andong.

Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Ia pun berlalu begitu saja, dan mulai bermain di sawah, menyapa para petani dan meminta izin untuk memotret mereka yang sedang melakukan pekerjaannya. Aku mengarahkan kamera handphone ke arah Sean yang sedang sibuk dan memotretnya serta mengirimkannya pada Tante Hera. 

Beberapa hari ini aku jadi seperti jurnalis khusus melaporkan kegiatan Sean pada Tantenya. 

Aku membawa kembali buku catatan Sean yang dulu ku baca. Sambil duduk di tepi sawah aku mulai membuka buka kembali bab yang kutinggalkan dalam buku itu.

30 December Bab kedua.

Beribu lekokan, bukit dan lembah telah di lalui oleh Jan dan Peter. Tapi hari tak menunjukan akan berganti dari gelap gulita. Bagaikan bumi tengah mengenang ribuan purnama, bahkan hijau daun pun kiri mulai menghitam menunjukkan sisi kelamnya yang tak bersahabat.

Dalam kegeraman itu si penyihir tertawa. Ia telah berkuasa atas segala cita dan harap kedua anak adam ini. Dalam sekejap ia telah merenggut segala yang di banggakan oleh mereka.

Semakin lama, langkah kaki mereka semakin memelan dan letih. Petter terduduk di tepi danau dengan poci yang menyala redup di tangannya. Sementara Jan pergi membasuk pedangnya yang masih kotor oleh darah penyihir yang sempat ia kira telah mati. 

Saat kotoran darah itu menyentuh air danau, tiba-tiba airnya bergejolak. Permukaannya menggelepar kecil hingga ujung ke ujung. 

Perlahan muncul sebuah asap putih yang menyeruak. Tak berapa lama kemudia muncul beberapa benda dengan bentuk yang berlaina. Permukaan danau itupun membentuk sebuah pusaran air yang keras.

Muncullah beberapa orang dengan darah bersimbah. Ia mendekati Jan dan berjalan di sekelilingnya. Ia mengitari Jan dan memaki-makinya. Ia mulai tertekan dan menutup telinganya. 

Tak lama bayangan asap berbentuk Dean dan Jane. Ia membawa serta ibu dan ayah Petter dalam bentuk bayangan ke hadapannya. 

Jane mengibaskan tangannya pada Ibu Petter, dan wanita berambut pirang terikat itu mulai membuka mulutnya.

The Endless Chapter [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang