"Din"
Panggil Sean.
Saat ini kami sedang duduk berdua di teras rumah. Menghadap jalanan yang sepi berbatas pepohonan kelapa gelap menampakkan barisan sulur batang kelapa yang lebih gelap dari landscape malam, suar derik jangkrik dan serangga malam berpadu, ada yang muncul dari semak ada yang berasal dari atas pohon.
"Hmm"
"Jam segini" Ia menengok jam tangan yang menunjukkan jam 9 malam. "Udah kayak jam 12."
"Yaiyalah Sean , ini di desa, di kampung. Jam segini semua makhluknya udah naik ke ranjang semua. Jangan di samain ama kota, yang ada mall, ada diskotek, ada cafe buat nongkrong."
"Iya sih." Ia terdiam. Menyeruput teh hangat dengan bibirnya.
"Din" panggilnya lagi.
"Hmm." Jawabku malas.
"Kebayang gak sih." Ia menunjuk pada barisan pohon kelapa. "Tiba-tiba dari sana ada muncul cewek pakek baju putih..."
"Stt." Aku menyikut tangannya. "Mulutmu , di desa gini masih angker tau."
Aku pun jadi ketakutan sendiri.
"Ah males, masuk aja deh. Kamu ngomong macem-macem."
Hendak beranjak. Namun Sean menarik tangan kiriku dan mendudukan aku di sampingnya lagi.
"Din, aku belum pernah foto sama kamu berdua aja."
Ia mengeluarkan kamera mininya. Lalu mengarahkan tepat di hadapan kami berdua.
"Senyum Din, " Ia merangkulkan tangan kirinya melingkar bagian belakang leherku. Aku masih canggung dan 'flap' lampu flash kamera menjepret.
Terdengar suara krit krit. Perlahan keluar paper putih dari bawah lensa. Sean memungutnya dan mengibaskan beberapa kali, nampaklah seikit demi sedikit warna foto kami berdua.
Sean langsung cemberut.
"Apaan sih. Gaya kamu aneh banget." Ia melempar foto nya ke pangkuanku.
Kupandangi, wajahku yang menampilkan mimik aneh menoleh ke Sean yang tersenyum lebar. Aku jadi geli.
"Apaan, senyum senyum."
"Gapapa, aku yang simpen ya." Aku menyimpan foto itu di dalam saku ku.
"Din."
"Hm."
"Din."
"Apaan sih manggil manggil mulu." Bentakku.
"Aku iri sama kamu."
"Iri kenapa?"
"Sejak hari pertama aku masuk rumah ini, kayak mimpi Din."
"Mimpi?"
"Ya, kamu memiliki keluarga yang selalu menjadi mimpiku selama ini. Keluarga yang bener bener keluarga."
"Kamu punya ibu, dan Ayah walaupun sudah almarhum. Tapi mereka bisa menjadi panutan buat kamu. Aku heran, kamu bisa tahan ngadepin sikap aku yang aneh gak kaya Yuki.."
"Sean, kamu harus ..."
"Jaga emosiku, stay in indonesia. I know that, biarkan aku selesai sama kalimatku."
Sean menatap tajam, rambutnya yang berponi diterbangkan angin malam. Namun mata itu tak se rapuh dulu waktu ia ditemukan di pantai, juga tak seputus asa seperti hari saat ia menyayat kedua lengannya, ada sesuatu yang mulai muncul darinya, semangat mungkin itu kesimpulan pertamaku.
"Setidaknya, saat kamu di luar sana kamu bisa berpikir ibuku mengajarkanku ini, bapakku mencontohkan aku ini. Beberapa hari ini saat aku lihat ibu kamu, aku melihat bagaimana sosok ibu sejati seharusnya Din, ini seperti mimpi yang jadi nyata buat aku, hidup dalam kehangatan keluarga yang membuat kita merasa nyaman setiap waktu."
Sean menggeleng dan tertawa kecil.
Kuraih tangan kananny dan ia mulai melihatku dengan sorot matanya yang tajam lagi.
"Kalau aku , justru hidup kamu yang aku mimpikan."
"Aku pengen dalam hidupku, bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin, berkerja di perusahaan dengan pakaian rapi , hidup cukup , gak kekurangan."
Aku terdiam sesaat.
"Kadang bermimpi itu lebih indah, ketimbang menjalani kehidupan yang nyata ."
"Karena dalam mimpi kita, kita bebas menjadi apa yang kita mau tanpa ada batasan yang menghalangi setiap imajinya." Sahut Sean.
Aku menyandarkan kepalaku di atas bahunya yang lembut berselimutkan jaket hitam tebal. Kedua tangan kami sama-sama memegang teko berisi teh yang menjelang dingin. Kedua mata kami menatap sulur-sulur batang kelapa diantara kegelapan bak menatap layar operayang menampilkan imaji otak kami masing-masing.
Bermimpilah.
Karna dalam mimpimulah kamu benar benar merdeka.
Bermimpilah.
Jika itu membuatmu bahagia.
Bahkan dalam mimpi pun, seekor ikan dapat terbang di angkasa.
Dan surya dan candra dapat bercengkrama.
Dalam mimpimu dirimu akan bisa menjadi dirimu yang kau mau.
Tanpa ada batasan duniawi yang menghakimi imajimu.
Terbanglah , biarkan mimpimu menghiburmu.
Dari lara , pahit dunia.
Atas harap yang selalu kau angan.
Atas keinginan yang menjadi ratapan.
Bermimpilah, dan jadilah dirimu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Endless Chapter [COMPLETED]
General FictionPernahkah sekali dalam hidupmu. Engkau merasa terbangun di pagi hari, mandi, makan dan beraktifitas seperti biasa. Berkerja, bersekolah , atau hanya diam saja. Lalu perlahan senja mulai tenggelam, engkau kembali pulang ke rumah. Bersiap untuk tidur...