Terabaikan

75 6 4
                                    

Kini aku pun sudah berdiri perlahan dibantu seseorang yang belum sempat kulihat batang hidungnya, aku hanya terfokus pada rasa sakitku yang berdenyut-denyut perih diujung kakiku.

"Kaki mbak terluka, mari mampir ke rumah saya dulu, biar diobati!" sapa laki-laki itu sambil mengangkat sepedaku. Dan aku hanya berdiri menahan sakit.

Reflek aku mengangkat wajah melihat sumber suara yang sudah tidak asing lagi bagiku dalam beberapa hari ini. Ternyata itu Rudi orang yang menolongku dan mengantarku ke rumah Bibi kemaren.

"Ti tidak usah repot-repot, aku bisa langsung pulang ke rumah bibi," tolakku halus takut dia tersinggung.

"Bagaimana mbak bisa pulang ke rumah Bibi kalau kaki mbak terluka seperti itu! tenang di rumah saya tidak sendirian, ada adik perempuan saya. Sementara Ibu saya udah ke sawah sejak pagi," ucap laki-laki itu menentang keinginanku. Ada ketulusan yang kurasakan darinya.

"Baiklah, tapi cuma sebentar aja ya!" pintaku akhirnya mengalah.

"Iya mbak tenang aja, saya juga tidak akan culik mbak kok," candanya sesaat yang membuatku terkekeh pelan.

Kini aku ke rumah Rudi dengan di bonceng sepeda yang kunaiki tadi, daripada jalan kaki lebih baik naik sepeda, setelah beberapa saat kemudian sampailah aku di depan rumah Rudi. Rumah yang terlihat sederhana namun terasa nyaman dan di halamannya ditumbuhi beraneka ragam tanaman yang tersusun rapi di pot cukup besar.

"Akhirnya sampai, ayo mbak silahkan masuk," ajak Rudi itu ramah membuyarkan lamunanku.

"Iya..."jawabku singkat.

"Eh kak Rudi sama siapa? pacarnya ya?" tanya Lina adik Rudi yang baru saja selesai menjemur pakaian di samping teras rumah.

"Bukan, ini teman kak Rudi namanya siapa!" tanya Rudi malah balik tanya kepadaku. Karena diantara kami berdua memang belum berkenalan secara resmi.

"Musda," jawabku mengulurkan tangan seraya tersenyum ramah.

"Ooh kak Musda, saya Lina kak," sambung Lina membalas uluran tanganku dengan hangat.

"Ya Allah itu kakinya kenapa kak?" tanya Lina heran sambil mengerutkan keningnya setelah melepas jabatan tangan perkenalan.

"Tadi habis jatuh dari sepeda, untung ada kak Rudi yang kebetulan lewat membantu," jelasku sekilas sambil melirik laki-laki itu tersipu malu.

"Ooh ayo masuk kak biar Lina yang obati dulu lukanya, jangan kak Rudi yang obatin, bukan mahram, kecuali udah nikah," ucap Lina sambil menjulurkan lidah manja ke Rudi sambil berlalu menggandengku mengajak masuk ke rumah.

Rudi hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik perempuan satu-satunya itu, walaupun Lina baru lulus SMA tapi terkadang tingkahnya masih saja manja dan kekanak-kanakan, dia pun sangat memakluminya karena Lina anak bungsu. Tapi walaupun begitu bukan berarti Lina tidak bisa bersikap dewasa, ada waktunya Lina bisa memposisikan keadaan yang mana harus bersikap dewasa dan manjanya kambuh lagi. Rudi pun sangat sayang pada adiknya itu walaupun yang namanya kakak adik tak jarang ada sedikit pertengkaran-pertengkaran kecil diantara mereka, namun setelah itu tidak lama baikan lagi.

Setelah Lina selesai mengobati luka kakiku dengan dioleskan obat merah dan direkatkan ha*sa*la* kini aku bersiap-siap mau pulang.

"Terima kasih Lina udah mau bersedia mengobati luka Kaka. Kaka mau pulang dulu," pamitku ramah sambil berdiri.

"Lho cepat banget kak, nanti dulu, masih banyak yang Lina pengen obrolin!" tolak Lina kaget.

"Nanti kita sambung lagi," jawabku sambil merasakan nyeri kakiku walaupun sudah agak mendingan.

Siapa CintakuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang