Kini tidak terasa sudah tujuh hari Riduan koma. Selama tujuh hari itu pula aku bolak-balik RS untuk menjenguk dan menunggu Riduan sadar dari komanya. Sebenarnya aku ingin selalu di RS tanpa capek bolak-balik. Namun karena berhubung aku seorang PNS yang sulit sekali izin libur dan memang menjalankan tugas negara juga penting, jadinya setelah siang sepulang mengajar aku mampir dulu ke rumah. Tidak lama setelah itu aku buru-buru berangkat ke RS sampai malam hari.
Untunglah Nenek Riduan yang selama ini datang dan setia menunggu setiap saat. Kasian sekali Nenek, tapi dengan aku datang setiap menjelang sore sampai malam hari sekitar jam 9 an sudah cukup membuat Nenek terhibur dan tidak kesepian menjaga Riduan. Tamu-tamu dari pihak keluarga dan teman-teman Riduan pun datang silih berganti untuk menjenguk serta mendoakan untuk kesembuhan Riduan.
Kini aku dengan cepat melangkahkan kaki menelusuri koridor RS yang luas. Kadang aroma obat-obatan menusuk indera penciumanku yang reflek mengingatkanku pada beberapa tahun silam sejak almarhum ayahku juga sempat masuk RS ini sebelum menghembuskan nafas terakhirnya. Tiba-tiba ketakutanku muncul lagi tanpa kendali bila ingat peristiwa itu, sepertinya aku trauma dengan kehilangan seseorang yang begitu berarti dihidupku yang awalnya masuk RS ini lalu selang beberapa waktu kemudian meninggal di RS ini. Aku bergidik membayangkan ketakutan pikiranku, aku harus optimis. Semuanya akan baik-baik saja. Aku berusaha mensugesti diriku untuk selalu optimis dan kuat.
Kulangkahkan kaki dengan cepat yang biasa aku lakukan agar secepatnya berada di ruangan yang ingin aku tuju. Aku selalu tidak sabar ingin bertemu Riduan dan seakan seperti tergesa-gesa.
Setelah beberapa menit kemudian sampailah aku di sebuah ruangan yang sudah tujuh hari ini seakan menjadi rumah keduaku. Malam ini aku berencana ingin menginap di sini, karena besok hari minggu. Jadi ini kesempatanku untuk menjaga Riduan lebih lama dan tentunya agar Nenek ada teman ngobrol sekaligus menggantikan Nenek kalau dia ingin beristirahat.
"Assalamu'alaikum Nek...!" sapaku seraya membuka gagang pintu. Karena Nenek mempersilahkanku untuk datang kapan saja semauku jadi aku merasa bebas berkunjung ke sini.
"Waalaikum salam...eh Musda ayo masuk," jawab Nenek diiringi dengan senyum ramah.
"Bagaimana keadaan Riduan Nek? apa ada perkembangan?" tanyaku penasaran tiap kali awal kedatanganku selalu saja bertanya seperti itu. Berharap ada keajaiban dan setidaknya perkembangan yang lebih baik.
"Ya beginilah Musda. Belum ada perkembangan apa-apa. Sebaiknya kita selalu sabar dan berdoa semoga Riduan cepat sadar!" pinta Nenek dengan wajah murung tertunduk, berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Iya Nek. Musda juga selalu berdoa semoga Riduan cepat sadar dan cepat sembuh," jawabku dengan mata berkaca-kaca. Kenapa lagi butiran ini mau tumpah seketika, kenapa akhir-akhir ini aku begitu cengeng.
Melihat perubahan wajahku yang sebentar lagi sepertinya mau diguyur hujan. Nenek secepatnya mengalihkan pembicaraan, tidak ingin melihatku tambah sedih.
"Musda itu apa yang kamu bawa?" tanya Nenek heran dengan mata tertuju melihatku membawa tas cukup besar berisikan baju-baju ganti, mukena, serta sabun mandi dan perlengkapannya.
"Ooh ini...malam ini Musda mau menginap di sini Nek, biar bisa lebih lama menjaga Riduan dan menemani Nenek, boleh kan Nek?" tanyaku sopan.
"Ooh tentu aja boleh. Nenek senang sekali kamu di sini bisa menemani Nenek ngobrol juga. Tapi apa tidak merepotkan kamu, siapa tau ada kerjaan yang harus kamu selesaikan!" tanya Nenek merasa sungkan.
"Nenek tenang aja, Musda santai tidak ada kerjaan. Mama juga mengizinkan Musda menginap di sini. Jadi Nenek tidak perlu khawatir ya Nek!" jelasku ramah sembari tersenyum lembut.
"Sukurlah kalau begitu..." sahut Nenek tersenyum senang.
"Ini juga ada dua nasi uduk buatan Mama dan sedikit kue, silahkan di makan Nek. Musda taruh di dalam lemari ya?" ucapku seraya memasukkan bungkusan makanan dan sebotol besar air mineral ke dalam lemari yang sudah disiapkan di ruangan ini.
"Musda kamu baik sekali, terima kasih semuanya. Semoga semua kebaikanmu dibalas oleh Allah. Nenek perhatikan kamu tampak kurusan, kalau kamu capek dan ngantuk kamu tidur aja. Tidak perlu memaksakan diri. Nanti kamu lagi yang sakit!" tutur Nenek prihatin.
"Iya Nek Musda tidak apa-apa, kalau Musda capek ya Musda pasti bawa istirahat dulu," ucapku kini duduk di pinggir ranjang samping Riduan yang masih setia dengan tidur panjangnya.
Kuperhatikan wajahnya yang teduh yang masih sama seperti hari-hari kemarin. Matanya pun masih terkatup rapat dengan sempurna.
🍃🍃🍃
Disubuh minggu ini aku sudah mandi seperti biasa yang kamar mandinya sudah disediakan di ruang inap Riduan berada. Meskipun tidak setiap ruangan ada kamar mandinya, karena ruang Riduan cuma berada di kelas menengah biasa saja. Sengaja Nenek Riduan yang meminta biar standar seperti kebanyakan orang. Meskipun kalau seandainya di kelas paling atas dengan ruang yang khusus dengan segala fasilitasnya Riduan ataupun Nenek mampu membayarnya, tapi Nenek tetap ingin merasakan selayaknya hidup standar seperti kebanyakan orang.
Dengan keadaan dan tempat yang berbeda aku tetap melakukan rutinitas subuhku yang tidak pernah ketinggalan kulakukan kecuali berhalangan, yaitu shalat subuh. Berdoa dengan khusyuk dan membaca amalan-amalan yang biasa aku lakukan.
Setelah semuanya selesai lalu aku menghampiri duduk di kursi samping Riduan, memandang lekat wajah teduh yang masih setia terpejam ditiap waktu. Wajah yang kini tampak pucat dan kurus. Bulu-bulu halus pun mulai tumbuh liar di dagu lancipnya.
"Riduaaann...tolong cepatlah sadar. Aku di sini selalu setia menunggumu, menunggu untuk acara nikah kita nanti. Riduan...apa kamu tidak ingin melihat aku tampil cantik dengan gaun kebayaku nanti disaat kamu ingin mengucap ijab qabul.! Terus nanti kita setelah menikah kita akan langsung buat benih cinta kita, semoga Allah cepat memberikan momongan. Biar kebahagiaan kita semakin lengkap. Dari dulu entah kenapa aku ingin anak pertama kita laki-laki, biar bisa menjadi pemimpin buat adik-adiknya nanti..."
Musda terus berbicara sendiri seakan Riduan mendengarkan semua curahan hatinya. Tanpa disadari jari-jari tangan Riduan mulai bergerak pelan. Mata Riduan pun perlahan berkedip, sementara Musda belum menyadari pergerakkan Riduan dan masih dengan santainya terus mengajak Riduan berbicara.
Namun sampailah suatu ketika ekor mata Musda melihat jari-jari tangan Riduan bergerak serta mata Riduan yang terbuka perlahan meskipun terlihat sayu. Berusaha menyesuaikan dengan cahaya lampu yang masuk. "Ya Allah alhamdulillah...Riduan kamu udah sadar!!!" reflek Musda setengah berteriak.
Alhamdulillah...akhirnya Riduan sadar. Sengaja dipotong dulu ya ceritanya, biar pada penasaran..heheee...jangan lupa vote dan komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Cintaku
Roman d'amourSeorang wanita yang bernama Musdalifah masih betah sendiri diusianya yang ke 28 tahun, ibunya sudah beberapa kali mencoba menjodohkannya dengan seorang pria, tapi Musdalifah selalu saja menolak untuk bertemu dengan pria pilihan ibunya itu, ibunya pu...